HUKUM PERTAMBANGAN


Blog ini merupakan publikasi pemikiran saya (Ahmad Redi) terhadap berbagai persoalan mengenai hukum pertambangan. Materi dalam blog ini mungkin tampak sederhana, namun dari kesederhanaan inilah saya berupaya untuk dapat menulis secara aktif, substantif, dan filosofis dengan mengdepankan keorisinalitasan karya. Saya meyakini bahwa banyak keserdahanaan yang melahirkan karya-karya agung yang fenomenal dan monumental.


Selasa, 30 Agustus 2016

POLEMIK IZIN EKSPOR PT FREEPORT


Polemik status kewarganegaraan Arcandra Tahar, menimbulkan polemik pula terkait kebijakan pemberian rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport Indonesia. Rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) atas nama Menteri ESDM pada tanggal 9 Agustus 2016 menyulut polemik di masyarakat.

Surat rekomendasi ini dianggap sebagian pihak penuh dengan kepentingan PT Freeport sehingga penerbitannya di era Arcandra Tahar pada saat menjadi Menteri ESDM selama dua puluh hari menambah bumbu-bumbu kekisruhan pengangkatan Achandra sebagai Menteri ESDM. Bahkan untuk mengamankan posisi Arcandra sebagai Menteri ESDM dua puluh hari saat itu, beredar di media pernyataan Luhut Binsar Panjaitan yang akan mem-buldozer setiap orang yang mengganggu Arcandra, selain pula penyataan Luhut bahwa surat rekomendasi ekspor kepada PT Freeport ditandatangani oleh Menteri ESDM pada saat dijabat oleh Sudirman Said.

Muara Polemik
Muara polemik rekomendasi ekspor konsentrat ini bermula dari adanya pengaturan yang visioner dan sangat merah putih dalam UU No. 4 Tahun 2009 tetang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), khususnya dalam Pasal 170 UU Minerba yang mengatur bahwa pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Kewajiban pemurnian bagi PTFI ini dimaksudkan antara lain untuk mengoptimalkan nilai tambah produk, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Melalui kewajiban pemurnian mineral ini, mineral dari Indonesia tidak diangkut mentah-mentah berupa ore atau konsentrat ke luar negeri.

Kenyataannya, ketika pada tahun 2014 atau lima tahun setelah UU Minerba diterbitkan PT Freeport belum dapat memurnikan seluruh hasil tambangnya sebelum diekspor belum juga melakukannya. PT Freeport belum membangun fasilitas pemurnian di dalam negeri untuk memurnikan hasil tambangnya. Padahal UU Minerba telah memberikan waktu lima tahun agar PT Freeport membangun fasilitas ini sejak 2009.

Celakanya, Januari 2014 harus ada kepastian hukum agar Pasal 170 UU Minerba dilaksanakan padahal PT Freeport dkk, termasuk pemegang izin usaha pertambangan, belum menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian baik secara sendiri maupun bekerja sama. Pemerintah saat itu menerbitkan PP No. 1 Tahun 2014 yang intinya mempertegas bunyi Pasal 170 UU Minerba. Namun, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 PT Freeport diberi jangka waktu sampai 2017 untuk tetap mengekspor mineral dengan catatan 2017 harus telah selesai membangun smelter dengan harus membayar bea keluar dengan kisaran antara 20 persen sampai dengan 25 persen dari 12 Januari-31 Desember 2014, 30 persen sampai dengan 40 persen dari 1 Januari 2015-31 Desember 2015, 50 persen sampai dengan 60 persen dari 1 Januari 2016-31 Desember 2017 sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2014, namun Peraturan Menteri Keuangan ini diubah dengan Peraturan Menteri Nomor 153 Tahun 2014 yang besaran bea keluarnya paling banyak sebesar 7.5 persen.

Sebagai pedoman pemberian izin ekspor mineral yang belum dimurnikan maka Menteri ESDM saat itu menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemberian dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Penjualan Mineral ke Luar Negari Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Peraturan Menteri ini mengatur mengenai tata cara permohonan rekomendasi kepada Menteri ESDM, persyaratan, rencana pembangunan smelter, jaminan kesungguhan, dan evaluasi oleh Menteri ESDM atas perkembangan pembangunan smleter.  Dalam Peraturan Menteri ESDM ini, PT Freeport diharuskan membayar jaminan kesungguhan sebesar lima persen dari nilai investasi baru atau lima persen dari sisa nilai investasi yang belum terealisasi bagi pembangunan fasilitas pemurnian yang sudah berjalan.

Melalui jaminan kesungguhan ini, diharapkan PT Freeport akan membangun smelter. Dalam Pertaruran inilah, surat rekomendasi ekspor kepada PT Freeport, termasuk PT Newmont dan lain-lain, muncul. Rekomendasi ekspor diberikan setiap enam bulan oleh Dirjen Mineran atas nama Menteri ESDM. Maksud pemberian rekomendasi tiap enam bulan ini untuk mengevaluasi perkembangan pembangunan smelter tiap enam bulan sekali sebelum diberikan perpanjangan enam bulan berikutnya.

Dalam Pasal 14 Permen ESDM No. 11 Tahun 2014 diatur bahwa perpanjangan permohonan untuk enam bulan selanjutnya dapat diberikan apabila pemegang kontrak karya, dalam hal ini PT Freeport, telah memenuhi paling sedikit 60 persen pembangunan smleter dari target setiap enam bulan. Sayangnya, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2016 yang mengubah Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2014, ketentuan pemenuhan paling sedikit 60 persen ini diganti menjadi berapapun target yang dipenuhi, perpanjangan ekspor dapat tetap diberikan oleh Dirjen Minerba atas nama Menteri ESDM.

Persoalan Hukum
Terdapat persoalan hukum dalam pemberian rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport, yaitu, pertama, pemberian ekspor kepada PT Freeport menyimpangi Pasal 170 UU Minerba yang melarang mineral yang belum dimurnikan di dalam negeri, diekspor. Ekspor mineral secara terus menerus pasca 12 Januari 2014 (lima tahun sejak UU Minerba diterbitkan) ini merupakan bentuk pelecehan PT Freeport pada UU Minerba.

Kedua, penerbitan rekomendasi ekspor kepada PT Freeport telah ada sejak masa Menteri ESDM Jero wacik yang menerbitkan Permen ESDM No. 11 Tahun 2014 yang berimplikasi pada penerbitan rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport. Ketiga, tidak hanya PT Freeport yang menyimpangi kewajiban dalam Pasal 170 UU Minerba dengan tidak terbangunnya fasilitas pemurnian mineral di dalam negeri, namun Pemerintah saat itu yaitu pada tahun 2009-2014 juga tidak melakukan pembinaan dan pengawasan agar PT Freeport membangun smelter sebelum 12 Januari 2014. Akhirnya permasalahan tiadanya pembinaan dan pengawasan kepada PT Freeport menyisahkan persoalan pada Pemerintah setelah 2014.

Keempat, Pemerintah saat ini dapat dianggap pula menyimpangi UU Minerba karena tidak dapat memaksa PT Freeport untuk melakukan pemurnian di dalam negeri atas mineralnya. Kelima, Pemerintah terlalu memberikan kemudahan kepada PT Freeport untuk dapat terus melakukan ekspor mineral yang belum dimurnikan, padahal langkah ini mempersulit Pemerintah karena harus terus menerus menyimpangi UU Minerba dan diprotes oleh DPR, termasuk masyarakat luas.

Langkah Tegas
Sebagai negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, mau tidak mau, suka tidak suka, Pemerintah harus konsisten dengan UU Minerba. Pasal 170 UU Minerba harus ditegakkan sebagaimana mestinya. Pemerintah harus menghetikan memberikan rekomendasi dan izin ekspor kepada PT Freeport selama PT Freeport belum membangun smelter. Substansi kewajiban mengolah dan/atau memurnikan di dalam negeri atas mineral sesungguhnya pernah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 10/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 mengenai kewajiban pengolahan dan/atau permunian mineral bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Khusus tidak bertentangan dengan UUD 1945. Walau subjek hukumnya berbeda, yaitu kepada pemegang IUP/IUPK, namun Pasal 170 yang memiliki kesamaan norma namun subjeknya pemegang Kontrak Karya, sehingga secara substansional kewajiban Pasal 170 pun dapat dianggap sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Akhirnya, PT Freeport harus memiliki ittikad baik untuk melaksanakan aturan hukum nasional Indonesia sebagaimana mestinya, apalagi dalam Kontrak Karya PT Freeport dinyatakan bahwa PT Freeport akan menaati undang-undang Indonesia from time to time, dari waktu ke waktu. Kekayaan alam Indonesia ini harus memberikan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat Indonesia, salah satunya melalui pengolahan dan pemurnian hasil tambang PT Freeport di dalam negeri. PT Freeport harus menghargai hukum Indonesia dan sebagai investor yang baik jangan hanya ingin untungnya dan maunya sendiri. Sumber daya alam Indonesia harus memberikan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat Indonesia.

---






Kamis, 14 Juli 2016

AKUISISI TERLARANG SAHAM PT NEWMONT NUSA TENGGARA?



Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
Pengajar di FH Universitas Tarumanagara, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Pegiat Hukum Konstitusi Ekonomi


PT Medco Energy Internasional (PT Medco) melakukan aksi korporasi bombastis pada medio 2016 ini dengan mengakuisisi saham PT Amman Mineral Internasional (AMI) yang mengendalikan  82,2% saham PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT)  senilai US$2,6 miliar atau setara sekitar Rp.33,8 triliun. Aksi ini menjadi salah satu aksi korporasi terbesar di sektor pengusahaan pertambangan pada tahun 2016. PT AMI yang sahamnya dibeli oleh PT Medco sebelumnya telah melakukan pembelian saham Newmont Nusa Tenggara dari Newmont Mining Corporation, Sumitomo Corporation,  PT Multi Daerah Bersaing, dan PT Indonesia Masbaga. Aksi korporasi PT Medco terhadap PT NNT melalui perantara PT AMI dapat menjadi persoalan dalam aspek hukum pertambangan mineral dan batubara dan dapat menjadi aksi akuisisi terlarang dalam rezim hukum pertambangan mineral dan batubara.

Persoalan hukum pertama, aksi korporasi tersebut melanggar ketentuan Pasal 112 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba yang mengatur bahwa setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham atau penjualan saham asing pada Pemerintah, pemda, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. Ketentuan ini dipertegas dalam PP No. 23 Tahun 2010 sebagimana telah diubah terakhir dengan PP No. 77 Tahun 2014 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Berdasarkan ketentuan UU Minerba maka PT NNT wajib melakukan penjualan sahamnya kepada peserta Indonesia secara berurutan yaitu kepada Pemerintah, pemda, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. Faktanya, saham tersebut dibeli langsung oleh badan usaha swasta nasional tidak terlebih dahulu ditawarkan secara berjenjang sebagaimana diatur dalam UU Minerba dan peraturan pelaksanaannya.

Secara tekstual Pasal 112 sasaran normanya yaitu subjek hukum berupa pemegang IUP bukan pemegang Kontrak Karya (KK) sebagaimana PT NNT yang melakukan kegiatan usaha pertambangan dengan instrumen KK bukan IUP, namun dalam Pasal 169 huruf b UU Minerba dinyatakan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU Minerba diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. Artinya, secara yuridis normatif ketentuan Pasal 112 UU Minerba mengenai kewajiban divestasi saham secara operasional berlaku pula pada PT NNT. Walau sesungguhnya pelaksanaan Pasal 169 huruf b ini masih menjadi perdebata,.  khususnya mengenai adanya asas pacta sunt servanda dalam kontrak. KK sebagai kontrak bersifat suci dan tidak bisa diubah tanpa adanya kespakatan kedua belah pihak. Perubahan kontrak harus dilakukan melalui renegosiasi untuk mengamendem kontrak dan memasukkan kewajiban-kewajiban baru sesuai UU Minerba.

Persoalan hukum kedua, kewajiban divestasi saham PT NNT tidak hanya tertuang dalam UU Minerba, namun ia juga disepakati dalam KK antara Pemerintah RI dengan PT NNT. Dalam Pasal 24 ayat (3) dan ayat (4) KK PT NNT dikenai kewajiban divetasi saham kepada peserta Indonesia sebesar 51% pada tahun ke-10 sejak PT NNT berproduksi (tahun 2010). Kewajiban ini bahkan dipertegas oleh putusan sidang arbitrase penyelesaian sengketa antara Pemerintah Indonesia dengan PT NNT atas pelanggaran PT NNT terhadap kewajiban divestasi saham. Sidang arbitrase dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 8 sampai dengan 13 Desember 2008 dan dilaksanakan dibawah prosedur  arbitrase United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dan pada tanggal 31 Maret 2009 Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) mengeluarkan putusan akhir, yang pada pokoknya memenangkan Pemerintah Republik Indonesia dan menyatakan putusan sebagai berikut: (1) memerintahkan PT NNT untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (3) Kontrak Karya mengenai kewajiban divestasi saham; (2) menyatakan PT NNT telah melakukan default (pelanggaran perjanjian); dan (3) memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17% saham, yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3% dan tahun 2007 sebesar 7% kepada Pemerintah Daerah. Sedang untuk tahun 2008 sebesar 7%, kepada Pemerintah Republik Indonesia. Semua kewajiban  di atas harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan Arbitrase. Berdasarkan kesepakatan dalam KK dan diperkuat dengan putusan majelis arbitrase internasional maka PT NNT harus mendivestasikan sahamnya kepada Pemerintah Indonesia.

Persoalan hukum ketiga, secara filosofis pengenaan kewajiban divestasi saham bagi perusahaan asing di Indonesia didasarkan pada pemikiran bahwa dengan adanya kepemilikan saham Pemerintah maka akan terjadi peralihan manfaat/keuntungan dan peralihan kendali atas sumber daya alam mineral Indonesia dari perusahaan asing ke Pemerintah Indonesia. Peralihan manfaat tersebut misalnya terakit dengan dividen karena saham Pemerintah mayoritas, dan hak-hak istimewa lainnya seperti jatah komisaris dan penentuan manajemen perusahaan. Sedangkan, peralihan kendali yaitu menyangkut adanya kepemilikan saham mayoritas oleh Pemerintah sehingga adanya jaminan kepatuhan atas antara lain kewajiban good mining practices, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, royalti, perpajakan.

Kepemilikan saham oleh Pemerintah ini pun menurut Mahkamah Konstitusi merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 khususnya mengenai fungsi negara melakukan pengelolaan (beheersdaad) yang dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara  c.q.  Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan 3 pertimbangan di atas, maka secara hukum PT NNT hanya dapat menjual sahamnya kepada Pemerintah. Apabila Pemerintah tidak berminat, maka jatah penawaran selanjutnya harus ke pemda, apabila pemda pun tidak berminat maka harus ditawarkan ke BUMN, selanjutnya BUMD, terakhir badan usaha swasta nasional. Faktanya, PT NNT langsung menjual sahamnnya ke PT Medco. Menyedihkan lagi, pembiayaan yang didapat PT Medco berasal antara lain dari pembiayaan tiga BUMN. Padahal bila ingin berdiri dalam kepentingan nasional maka aksi korporasi pembelian saham mayoritas PT NNT dapat dilakukan langsung oleh BUMN tanpa melalui PT Medco. Toh, PT Medco pun mengakuisisi PT NNT melalui pembiayaan dari BUMN. Padahal dengan kepemilikan oleh BUMN, misalnya PT ANTAM, PT Bukit Asam, atau PT Nikel maka unsur penguasaan dan pengusahaan oleh negara dapat menjamin terselenggaranya sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 ayat (3).

Tentu, secara yuridis-normatif dan filosofis aksi korporasi PT Medco dapat menjadi aksi korporasi yang terlarang karena merugikan kepentingan nasional termasuk kepentingan hukum. Sudah seharusnya BUMN pertambangan dijadikan instrumen utama dalam pembelian saham-saham perusahaan pertambangan yang dikenai kewajiban divestasi saham. Bukan sebaliknya, BUMN pertambangan hanya sebagai penonton, menyaksikan BUMN perbankan membiayai perusahaan lain bukan BUMN untuk mengusahakan kegiatan pertambangan minerba. Padahal, sumber daya alam Indonesia harus diselenggarakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan sebesar-besar kemakmuran kelompok-kelompok kecil pemilik akses dan/atau modal.
---

Selasa, 12 Juli 2016

MENGGUGAT PT FREEPORT INDONESIA



Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
Pengajar FH Universitas Tarumanagara, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Dewan Presedium Kaukus Muda Alumni Undip


Pada tahun 2021, Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia di Komplek tambang Grasberg, Papua, akan berakhir. Kompleks tambang Grasberg merupakan salah satu penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia dan mengandung cadangan tembaga terbesar di dunia. Grasberg berada di jantung wilayah mineral yang sangat melimpah dan berusia panjang. KK PT Freeport ditandatangani pada 7 April 1967 dan telah diperbarui pada 30 Desember 1991. Padahal harusnya, KK tersebut berakhir pada 1997. PTFI telah melakukan eksplorasi, menambang, dan memproses bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (sejak 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Perpanjangan operasi tambang PT Freeport menyangkut kepentingan seluruh bangsa dan negara Indonesia sehingga harus dipastikan cost and benefit analysis bahwa perpanjangan tersebut menguntungkan bangsa dan negara Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan hanya keuntungan PT Freeport semata. Selama ini, eksistensi PT Freeport di Indonesia dianggap tidak memberikan keuntungan yang maksimal bagi Indonesia dan sesungguhnya akan lebih bermanfaat apabila komponen bangsa Indonesia-lah yang mengelolanya.

Menalar Menteri Sudirman Said
Di awal September 2015, Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Menteri ESDM) seolah memberi angin surga kepada PT Freeport dengan melakukan upaya penataan regulasi yang dianggap menghalangi keberlanjutan usaha PT Freeport di Indonesia. Menteri ESDM mengusulkan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I, substansi yang diusulkan oleh Menteri ESDM yaitu perpanjangan KK PT Freeport melalui skema Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang permohonan perpanjangan KK menjadi IUPK dapat dilakukan 10 (sepuluh) tahun sebelum KK berakhir. Substansi lainnya yaitu degredasi pengaturan divestasi saham dari yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah menjadi diatur dalam Peraturan Menteri ESDM.
Selain itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) nomor 61/SJI/2015 tanggal 9 Oktober 2015 dengan judul “PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia Menyepakati Kelanjutan Operasi Komplek Pertambangan Grasberg Pasca 2012” dalam siaran pers tersebut disampaikan bahwa PT Freeport Indonesia (PTFI) dan Pemerintah Indonesia telah menyepakati operasi jangka panjang dan rencana investasi PTFI. Bahkan melalui suray Menteri ESDM nomor 7522/13/MEM/2015 tanggal 7 Oktober 2015 kepada James R Moffat, Chairman of Board Freeport McMorran Inc, Menteri ESDM berjanji akan segera menyelesaikan penataan ulang regulasi bidang mineral dan batubara agar PT Freeport dapat segera memajukan permohonan perpanjangan operasi pertambangan dan perpanjangan operasi pertambangan akan segara diberikan segera setalah hasil penataan peraturan dan perundangan di bidang mineral dan batubara diimpelementasikan. Entah apa yang ada dipikiran Sudirman Said sebagai Menteri ESDM yang terlihat sangat lemah terhadap PT Freeport? Padahal kebijakannya yang akan dikeluarkannya menyangkut kepentingan seluruh bangsa dan negara ini. Wajar saja apabila Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya ‘ngamuk-ngamuk’ melihat rencana kebijakan Menteri Sudirman Said karena langkah Sudirman Said memang perlu dirasionalisasi karena dianggap belum rasional.
Tentunya, KPK dan BPK harus turut dilibatkan dalam pembuatan kebijakan yang berpotensi merugikan keuangan negara karena potensi kerugian negara melalui penyelundupan kepentingan melalui pembentukan regulasi dapat saja terjadi di sektor sumber daya alam, khususnya pertambangan mineral dan batubara. Mungkin tidak ada prilaku koruptif, namun kebijakan yang menguntungkan pihak lain dan sangat merugikan negara, merupakan bentuk kesalahan yang bisa saja merupakan suatu perbuatan pidana.


PT Freeport ‘Bandel’?
Tambang Grasberg, Papua, merupakan kekayaan alam bangsa Indonesia yang semestinya dapat dikelola sendiri oleh Indonesia untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Indonesia harus mengelola sendiri tambang Grasberg, Papua, yaitu: (1) sebagai tambang emas terbesar di dunia tentu secara ekonomi akan memberikan manfaat penerimaan negara yang besar bagi negara ini apabila dikelola langsung oleh bangsa Indonesia sendiri; (2) selama ini PT Freeport cenderung ‘bandel’ atas kebijakan pemerintah, misalnya mengenai kewajiban pemurnian di dalam negeri dan membangun smelter; (3) besaran royalti yang sulit untuk dinaikkan dari 1% ke 3.75% sebagaimana diatur dalam PP No. 9 tahun 2010 tentang PNBP di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral padahal sebagai pemilik sumber daya alam Indonesia harusnya bangsa Indonesia mendapat royalti tidak hanya 3.75% tetapi puluhan persen; (4) PT Freeport sulit mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah dan BUMN sebagaimana perintah UU No. 4 Tahun 2009 dan diwajibkan Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) KK tidak dilaksanakan; (5) kebijakan pemerintah yang berusaha ‘membela’ kepentingan PT Freeport menjadi beban bagi pemerintah sendiri, misalnya mengenai perpanjangan ekspor konsentrat selama enam bulan oleh pemerintah melalui MOU kepada PT Freeport membuat Pemerintah harus digugat ke pengadilan karena dianggap melanggar peraturan perundang-undangan; (6) hasil tambang PT Freeport tidak memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia secara maksimal misalnya untuk ketersediaan bahan baku industri dalam negeri; dan (7) PT Freeport sejak 2012-2014 tidak membayar dividen saham kepada Pemerintah sebagai pemegang 9.36% saham.

Indonesia Mampu Kelola Grasberg
Berbagai alasan tersebut memperkuat posisi pemerintah untuk mengelola sendiri Komplek tambang Grasberg peninggalan PT Freeport pada 2021 nanti. Adapun skema yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu: pertama, pemerintah membentuk BUMN baru untuk melanjutkan operasi produksi tambang Grasberg. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah dengan membentuk BUMN PT Inalum setelah Pemerintah memutus kontrak dan mengambil alih saham yang dimiliki pihak konsorsium peruhasaan Jepang pada 2013. Kedua, Pemerintah dapat menugaskan konsorsium atau holding BUMN baru yang terdiri atas PT Bukit Asam, PT Nikel, PT Antam, dan beberapa BUMN di bidang perbankan untuk mengelola tambang Grasberg. Ketiga, dengan skema pembelian saham divestasi PT Freeport sebagaimana yang diatur dalam Pasal 112 UU No.4/2009 bahwa pemegang KK harus mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta nasional. Kepemilikan saham pemerintah PT Freeport harus 51% sesuai dengan ketentuan dalam PP No. 1/2014. Sayangnya, dalam PP No. 77 Tahun 2014 kepemilikan saham 51% ini didegredasi menjadi 30%. Melalui saham mayoritas maka akan terjadi peralihan kepemilikan dan peralihan keuntungan dari PT Freeport kepada pemerintah Indonesia. Pilihan ketiga tersebut, bukanlah pilihan yang ideal karena saham divestasi yang akan dibeli oleh pemerintah tentunya memerlukan dana yang sangat besar dan  akan membebani APBN. Sehingga upaya menunggu tahun 2021 ketika berakhirnya KK PT Freeport dan atas KK tersebut tidak diperpanjang dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus kepada BUMN tentunya menjadi pilihan terbaik agar dapat mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Secara prosedural, perpanjangan KK menjadi IUPK harus dilakukan sesuai dengan tahapan yang ada dalam UU No.4 Tahun 2009. Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU No. 4 Tahun 2009 bahwa wilayah yang dapat diusahakan dengan IUPK ialah WUPK. Sebelum menjadi WUPK suatu wilayah menjadi WPN terlebih dahulu. Penetapan WPN harus disetujui oleh DPR RI. Artinya sebelum adanya IUPK, maka wilayahnya merupakan WPN yang diubah menjadi WUPK. Selanjutnya, dalam Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2009 diatur bahwa perubahan WPN menjadi WUPK harus mempertimbangkan: a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri; b. sumber devisa negara; c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana; d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; e. daya dukung lingkungan; dan/atau e. penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar. Sayangnya, ketentuan ini disimpangi oleh PP No.77 Tahun 2014 (Pasal 112C) yang mengatur bahwa kepada KK dapat langsung diberikan IUPK, padahal aturan ini tidak sesuai dengan aturan induknya yaitu Pasal 27 UU No. 4 Tahun 2009.
Pada kenyataannya, Menteri ESDM mewacanakan akan memberikan perpanjangan KK PTFI dengan skema IUPK. Padahal pemberian IUPK mengandung konsekuensi yuridis, yaitu wilayahnya harus di-WPN kan terselebih dahulu, kemudian diubah menjadi WUP. Pengusahaan IUPK pun dalam UU No. 4 Tahun 2009 diberikan prioritas kepada BUMN. Pemberian ‘ujug-ujug’ PTFI melalui skema IUPK maka terdapat beberapa potensi pelanggaran hukum yang akan dilakukan oleh Pemerintah.
Saat ini tahun 2015, tahun 2021 saat PT Freeport berakhir KK-nya telah semakin dekat. Pemerintah harus telah menyiapkan rencana kebijakan sejak saat ini karena apabila pemerintah salah menentukan kebijakan maka akan menjadi warisan penderitaan bagi bangsa dan negara. Perlu juga dihindari upaya-upaya perubahan peraturan perundang-undangan yang sudah baik saat ini untuk kemudian diubah demi menguntungkan PT Freeport semata. Upaya penyelundupan kepentingan perusahaan dan merugikan kepentingan nasional melalui pengubahan peraturan perundang-undangan sangat berpotensi dilakukan oleh unit pemerintah yang memiliki tugas pokok dan fungsi pembentukan regulasi.  Akhinya, bangsa Indonesia harus bersatu untuk menentukan bahwa tambang Grasberg milik bangsa Indonesia dan harus dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia. “Tuan rumah tidak akan berunding dengan perampok yang merampok rumahnya” (Tan Malaka).
***












KOIN RAKYAT UNTUK SAHAM PT FREEPORT



Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
(Pengajar FH UNTAR, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Presidium Kaukus Muda Alumni UNDIP)


Beberapa hari ini publik dikejutkan oleh berita laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mengenai perbincangan yang diduga antara Ketua DPR RI Setya Novanto dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsudin dan seorang pengusaha berinisial R. Perbincangan tersebut bersisi substansi mengenai permintaan jatah saham PT Freeport yang akan diberikan kepada Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Hingar bingar pemberitaan mengenai permintaan jatah saham dan catutan nama Presiden dan Wakil Presiden serta dugaan pelanggaran etis tersebut tentu tidak boleh mengaburkan isu sentral yang menjadi persoalan PT Freeport saat ini. Setidaknya ada beberapa masalah substansial yang harus terus dikawal oleh rakyat Indonesia mengenai eksistensi PT Freeport di Indonesia akhir-akhir ini, yaitu persoalan divestasi saham, persoalan kewajiban pemurnian hasil tambang di dalam negeri termasuk pembangunan smelter, dan isu perpanjangan Kontrak Karya (KK) pasca-berakhirnya KK tahun 2021. Tulisan ini akan mengupas mengenai kewajiban divestasi saham PT Freeport yang sangat penting dikaji dibanding soal bumbu-bumbu politik terkait dugaan pelanggaran etis oleh Setya Novanto.

PT Freeport Tidak Taat Kontrak Karya
Kepemilikan saham oleh Indonesia, khususnya Pemerintah Indonesia menjadi sangat penting bagi penciptaan sebesar-besar kemakmuran bagi Indonesia.  Persoalan divestasi saham PT Freeport sangat penting karena melalui kepemilikan saham PT Freeport oleh Indonesia maka akan terjadi peralihan manfaat dan peralihan kontrol dari PT Freeport ke Pemerintah Indonesia. Kepemilikan saham ini terkait erat dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
PT Freeport Indonesia dikenai kewajiban divestasi saham sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) KK antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia. Dalam Pasal 24 ayat (2) KK dinyatakan bahwa: “Sewaktu-waktu selama jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal ini, perusahaan akan menawarkan untuk dijual atau menyuruh menawarkan untuk dijual saham-saham dari modal saham perusahaan guna mendukung kebijaksanaan Pemerintah Indonesia dalam mendorong kepemilikan perusahaan-perusahaan Indonesia oleh Pihak Nasional Indonesia, sebagaimana diatur dalam ayat 2 Pasal 24 ini. Untuk tujuan ayat (2) Pasal 24, istilah “Pihak Nasional Indonesia” berarti warga negara Indonesia, Badan Hukum Indonesua yang sah yang dikuasai oleh warga negara Indonesia, atau Pemerintah Republik Indonesia”.
Selanjutnya dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a dinyatakan bahwa sepanjang dapat dilaksanakan sesegera mungkin setelah tanggal panandatanganan KK, dimulai pada tahun kelima sejak tanggal penandatangan KK dan paling lambat sepuluh tahun sejak penandatangan KK, PT Freeport harus menawarkan penjualan saham ke Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) atau cara lain kepada Pihak Nasional Indonesia, dalam jumlah saham mencapai 10% dari modal saham PT Freeport yang diterbitkan. Selanjutnya dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b dinyatakan sepuluh tahun sejak KK ditandatangani bahwa PT Freeport harus mendivestasikan sahamnya 2.5% pertahun sampai dengan 25% melalui Bursa Saham dan menawarkan sahamnya sebesar 20% tidak melalui Bursa Saham kepada Pihak Nasional Indonesia.
Namun kenyataannya berbeda dengan kewajiban PT Freeport dalam KK tersebut. Hingga saat ini PT Freeport tidak juga melakukan divestasi saham setelah divestasi saham sebesar 9.36% kepada Pemerintah dan 9.36% kepada PT Incocoper Investama. Pemerintah memang telah memiliki saham sebesar 9.36%. Namun, kewajiban divestasi saham tersebut lebih dari 9.36% karena sesuai Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) KK tersebut maka setidaknya telah terjadi kepemilikan saham oleh publik di pasar saham sebesar 20% dan 2.5% dikali 10 tahun (25%) ke selain Bursa Saham kepada Pihak Nasional Indonesia. Bahkan dalam KK diatur bahwa jika PT Freeport tidak menawarkan saham sebesar 20% melalui Bursa Efek Jakarta, maka keseluruhan jumlah saham yang ditawarkan kepada Peserta Nasional Indonesia harus mencapai 51% (lima puluh satu persen) tahun ke-20 (dua puluh) penandatanganan persetujuan ini (dalam hal ini adalah pada tanggal 30 Desember 2011 harus terlaksana divestasi 51% kepada Peserta Nasional Indonesia). Jika saham yang ditawarkan tidak terjual pada periode yang telah ditetapkan, maka jumlah saham yang tidak terjual tersebut harus ditambahkan pada periode selanjutnya. Dengan demikian, PT FI telah melakukan ketidak-taat-an terhadap KK dan Pemerintah belum mengajukan keberatan bahkan gugatan kepada arbitrase internasional atas pelanggaran ini.
Persoalan divestasi ini juga diatur dalam Pasal 112 UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP No. 77 Tahun 2014. Walau dalam peraturan perundang-undangan Indonesia juga diatur mengenai kewajiban divestasi saham PT Freeport tapi perusahaan ini cenderung tidak memiliki komitmen yang baik untuk menghormati hukum Indonesia. Tentu ini merupakan bentuk ketidakhormatan PT Freeport kepada bangsa dan negara Indonesia.
Koin Untuk Saham PT Freeport
Untuk membeli saham PT Freeport tentunya memerlukan dana yang sangat besar. Ketika divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara pada tahun 2012 yang lalu sebesar 24% saham jatah Pemerintah tidak dapat dibeli oleh Pemerintah Pusat karena alasan keterbatasan pendanaan. Akhirnya jatah saham tersebut dibeli oleh Pemerintah Daerah di Nusa Tenggara Barat dengan membentuk perusahaan gabungan (joint ventura) bersama perusahaan swasta nasional. Ini menjadi pengalaman bagi Pemerintah bahwa perlu strategi untuk membeli saham PT Freeport tersebut.
Untuk membeli saham PT Freeport ada beberapa skema yang dapat dilakukan, antara lain: (1) menugaskan beberapa BUMN di bidang pertambangan dan BUMN di bidang perbankan dan pembiayaan untuk membeli saham tersebut; (2) menugaskan Pusat Investasi Pemerintah yang berada di bawah Menteri Keuangan untuk melakukan pembelian saham divestasi tersebut; (3) membentuk BUMN khusus untuk mengelola saham divestasi saham dengan skema penyertaan modal negara dari APBN; (4) membeli saham dengan dividen yang akan diterima oleh Pemerintah dari PT Freeport; (5) bahkan rakyat Indonesia dapat bersatu padu membeli saham melalui program Koin Untuk Saham PT Freeport. Tentunya dengan skema nomor 5, isu nasionalisme dapat dijadikan jargon akan pentingnya kepemilikan saham PT Freeport.
Akhirnya, PT Freeport harus memiliki ittikad baik untuk ikut terlibat dalam sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan melakukan segala kewajiban yang ada dalam KK dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Sebagai tamu di negara ini, hormatilah negara ini sebagai suata negara yang berdaulat. Sesungguhnya gunung di Eastberg dan Grasberg yang dulu menjulang tinggi, kemudian menjadi tanah datar karena gunungnya sudah dieksploitasi, lalu di gali lebih dalam sampai sangat dalam, dan tidak berhenti di situ lubang yang sangat dalam itu pun terus dieksploitasi dengan tambang bawah tanah, perut bumi Ppaua itu disedot sampai dalam, sampai tulang sumsum (perut bumi) terdalam. Adilkah bila PT Freeport selalu ingin untung sendiri, padahal kekayaan alam Indonesia merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Kekayaan bangsa Indonesia secara umum sehingga PT Freeport tidak boleh hanya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaannya dan tidak memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia.  “Hasil tambang Indonesia harus memberikan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat Indonesia baik generasi saat ini maupun generasi anak cucu saat ini”.
- - -