Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
(Pengamat Hukum Sumber Daya Alam,
Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Tarumanagara)
Faisal
Basri menuding Hatta Rajasa sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit
dengan mengeluarkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah (raw material) termasuk bauksit. Menurut
Faisal Basri kebijakan larangan ekspor tersebut membuat kepentingan nasional
hancur lantaran semua perusahaan bauksit nasional tidak lagi diperbolehkan
mengekspor bauksit yang merupakan bahan mentah pembuatan alumunium. Faisal
Basri pun menuding bahwa kebijakan Hatta Rajasa merupakan permintaan perusahaan
alumunium terbesar Rusia, yaitu UC Rusal, yang saat itu berencana menanamkan
investasinya di Indonesia untuk membuat pabrik pengelolaan bauksit (smelter alumina) di Kalimantan. Bagi
saya pernyataan Faisal Basri tersebut sesat dan menyesatkan, sehingga saya
terpanggil untuk menanggapinya.
Pernyataan
Faisal Basri tersebut harus saya tanggapi dalam kapasitas: (1) sebagai akademisi
di bidang hukum sumber daya alam yang memahami akar filsofis dan yuridis
peraturan perundang-undangan mineral dan batubara; (2) sebagai orang yang terlibat
dalam penyusunan (Tim Penyusun) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 yang di
dalam Peraturan Pemerintah tersebut aturan mengenai kewajiban pengolahan
dan/atau pemurnian hasil tambang di dalam negeri yang dimaknai oleh pengusaha
sebagai “larangan ekspor” mineral diatur. Dalam pembahasan RPP tersebut saya
sangat tegas dan keras berpendapat agar politik hukum Pemerintah konsisten dan
konsekuen untuk menjalankan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 102, Pasal
103, dan Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009.
Pertama,
secara filosofis, bisnis pengusahaan pertambangan bukan bisnis jual beli tanah
(dan air). Hasil tambang mentah yang dibawa ke luar negeri tanpa diolah
dan/atau dimurnikan di dalam negeri merupakan bentuk pelecehan terhadap hak
mengusai negara atas sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan
pertambangan. Perusahaan pertambangan lebih memilih mengekspor mentah-mentah
bahan tambang Indonesia dan memilih untuk dijual selanjutnya diolah dan/atau
dimurnikan di negara-negara lain. Padahal akan terdapat nilai tambah ekonomi
yang besar bagi kepentingan nasional apabila bukan raw materials yang diekspor tetapi bahan yang sudah diolah dan/atau
dimurnikan-lah yang diekspor. Melalui pengolahan dan/atau pemurnian di dalam
negeri maka aka nada manfaat bagi negara, antara lain: (a) meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah dari produk; (b) tersedianya bahan baku industri; (c) penyerapan tenaga
kerja; dan
(d) peningkatan penerimaan negara.
Kedua,
dalam keterangan ahli saya di Mahkamah Konstitusi (saksi ahli) dari pihak Termohon
(Presiden RI) atas uji materiil Pasal 102 dan Pasal 103 UU No.4 Tahun 2009
tentang Minerba dalam perkara nomor 10/PUU-XII/2014 saya mengatakan bahwa
akar konstitusional kebijakan kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian di dalam
negeri atas hasil tambang mineral mentah bersumber dari Pasal 33 ayat (3) UUD
1945. Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 dinyatakan bahwa “Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk
dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Frasa
‘dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, telah ditafsirkan
oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
001-021-022/PUU-I/2003:
“Bahwa frasa “Bahwa rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh
UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan
kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning),
lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh
negara (regelendaad) dilakukan
melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi
oleh Pemerintah (eksekutif) dalam rangka sebesar-besarnya kemakmuran seluruh
rakyat”
Kewenangan
negara untuk mengadakan kebijakan (beleid)
dan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
pengaturan (regelendaad) agar sumber daya
alam, termasuk mineral dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
dilaksanakan melalui legislasi oleh DPR
dan Pemerintah dengan membentuk UU No.4 Tahun 2009. Kebijakan larangan ekspor
yang dimaksud Faisal Basri diatur dalam Pasal 102 yang menyatakan: “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan
dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”, dan selanjutnya dalam Pasal 103 yang berbunyi: (1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri; (2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan
dari pemegang IUP dan IUPK lainnya; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Kemudian
sebagai pelaksanaan Pasal 102 dan Pasal 103 UU No.4 Tahun 2009 tersebut
terbitlah PP No. 23 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan PP No.1 Tahun
2014 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 23 Tahun 2010 yang mempertegas
kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negari. Berdasarkan ketentuan dalam
PP No.1 Tahun 2014 yang ditandatangani oleh Presiden SBY pada tanggal 11
Januari 2014 merupakan pelaksanaan dari Pasal 102, Pasal 103, dan Pasal 170 UU
No.4 Tahun 2009, sejak 12 Januari 2014, ekspor mentah-mentah hasil tambang
tidak diperbolehkan lagi. Pemegang Kontrak Karya dan IUP dapat melakukan ekspor
mentah apabila komoditas hasil tambangnya telah diolah dan/atau dimurnikan di
dalam negeri.
Upaya
perusahaan yang menolak kebijakan tersebut secara hukum telah dilalui dengan melakukan
uji materiil Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009. Saat itu Faisal Basri
menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi dari pihak yang memohon pembatalan
Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009. Namun, Mahkamah Konstitusi menolak
permohonan tersebut dan menyatakan bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 telah tepat
dan sesuai dengan UUD 1945. Lalu mengapa Faisal Basri masih meributkan dan
bersikap tendensius kepada Hatta Rasaja? Padahal kebijakan Hatta Rasaja
tersebut dalam rangka melaksanakan kententuan UU No. 4 Tahun 2009 dan dalam
kepentingan nasional karena pengolahan dan pemurnian di dalam negeri akan
memberikan nilai tambah bagi bangsa dan negara Indonesia. Ingat, bisnis
pengusahaan pertambangan mineral bukanlah bisnis jual beli tanah (dan air) yang
mentah-mentah di bawa ke luar negeri.
Menurut
saya, jelas bahwa Faisal Basri tidak memahami konteks filosofis, sosiologis,
dan yuridis lahirnya kebijakan tersebut yang murni melaksanakan kebutuhan hukum
masyarakat dan menjawab tantangan kepentingan nasional atas hasil tambang.
Negara Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945 bahkan untuk mempertegas hukum sebagai panglima, Faisal Basri juga
telah dihadirkan ke Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan sesuai keahliannya
terkait kebijakan larangan ekspor tersebut, namun MK justru membenarkan apa
yang dilakukan Pemerintah yang saat itu Hatta Rajasa sebagai Menteri
Koordinator Perekonomian.
Faisal
Basri hanya berpikir mementingkan kepentingan kapitalisme tanpa mementingkan
kepentingan nasional secara menyeluruh. Saya kira berdasarkan fakta hukum
tersebut, kita dapat menilai siapa yang mementingkan kepentingan nasional dan
siapa yang hanya mementingkan kepentingan kapitalisme.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar