HUKUM PERTAMBANGAN


Blog ini merupakan publikasi pemikiran saya (Ahmad Redi) terhadap berbagai persoalan mengenai hukum pertambangan. Materi dalam blog ini mungkin tampak sederhana, namun dari kesederhanaan inilah saya berupaya untuk dapat menulis secara aktif, substantif, dan filosofis dengan mengdepankan keorisinalitasan karya. Saya meyakini bahwa banyak keserdahanaan yang melahirkan karya-karya agung yang fenomenal dan monumental.


Rabu, 11 April 2012


REFORMA AGRARIA MELALUI PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

"AHMAD REDI,S.H.,M.H"

Didasari pertimbangan untuk menghindari implikasi yang menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, serta menurunkan kualitas lingkungan, maka sebagai salah-satu Rencana Aksi yang harus diselesaikan dalam Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu II, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP PPTT) yang ditandatangani oleh Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 22 Januari 2010, untuk dijadikan acuan penertiban dan pendayagunaan tAnah terlantar guna penyelesaian dampak tersebut di atas.


Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa, dan negara Indonesia, harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, walau secara praktis hak atas tanah yang dikuasai dan/atau dimiliki penggunaannya masih banyak yang diterlantarkan, sehingga tanah sebagai salah-satu sumber kesejahteraan rakyat belum mampu mewujudkan kesejahteraan yang sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai dan digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Dinamika tanah terlantar dalam kaitannya dengan reforma agraria secara historical explanation telah ada sejak pada masa kuasa politik kolonial yang pada awalnya hadir sebagai organisasi dagang (VOC), yang dibalik kepentingan dagang tersebut menjalankan pula proses eksploitasi atas rakyat pribumi dalam rangka memperkuat proses akumulasi kapitalnya dengan jalan tanam paksa. Legitimasi dari tindakan tersebut dengan dibuatnya kebijakan politik pertanahan kolonial, yakni Agrarische Wet 1870. Melalui legitimasi inilah, penguasaan sumber-sumber agraria ditata secara tegas melalui peraturan kuasa politik legal kolonial.

Pengalaman sejarah di atas membuktikan bahwa terjadi hoogspanning erlangen kepentingan dagang (bisnis) dengan hak-hak rakyat untuk dapat memanfaatkan tanah sebagai sumber kesejahteraannya. UUPA yang merupakan produk hukum positif yang menjadi aturan organis dari UUD NRI 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3) merupakan tahapan pertama dan terpenting dalam sejarah dalam mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat melalui reforma agraria. Sebuah tahapan yang mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam suatu negara modern yang disesuaikan dengan cita-cita dasar kebangsaan, serta dalam hubungannya dengan dunia internasional, sehingga yang dibutuhkan prosesi transformasi dalam tataran das sein (fakta yang ada) dan das sollen (yang diharapkan) agar reforma agraria dapat terimplementasi.
Praktek reforma agraria sebagaimana yang diamantkan dalam UUD NRI 1945, diantaranya bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat melalui pemerataan pendapatan, meningkatkan keadilan sosial melalui distribusi/retribusi tanah bagi kepentingan rakyat, kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum agraria melalui kodefikasi aturan hukum agraria yang bersifat nasional untuk mengakhiri politik hukum agraria kolonial yang bersifat dualistis dan rumit. Tujuan dimaksud harus pula didukung dengan prinsip nasionalitas, hak menguasai dari negara, tanah mengandung fungsi sosial, dan perencanaan agraria. Sehingga, didasari tujuan dan prinsip tersebut UUPA tersebut, UUPA dapat menjadi law as tool of social engginering sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo.

Sebagai salah satu bentuk reforma agraria, penertiban dan pendayagunaan tenah terlantar dapat dijadikan sebagai resolusi guna mewujudkan kemakmuran sebesar-besar bagi rakyat. Penelantaran tanah yang sering terjadi di pedesaan dan perkotaan, merupakan tindakan menghilangkan manfaat secara ekonomis karena hilangnya potensi tanah yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UUPA yang menyatakan bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya merupakan kewajiban pemegang hak atau pihak yang memperoleh dasar penguasaan tanah, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah. Penelantaran tanah juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dipenuhi para pemegang hak atau pihak yang memperoleh dasar penguasaan tanah, sehingga dampak lainnya yakni terhambatnya pencapaian berbagai program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial yang dapat dihindari apabila tanah dimanfaatkan atau didayagunakan secara baik.
Pasal 4 PP PPTT mengatur ketentuan tanah yang diindikasikan sebagai tanah terlantar dengan cara pendataan tanah terlantar melalui identifikasi dan penelitian oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Penjelasan Pasal 4 menyebutkan bahwa tanah yang terindikasi terlantar yaitu tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian. Selanjutnya, tanah hak atau dasar penguasaan apa saja yang dapat menjadi objek penertiban tanah terlantar. Pasal 2 mengatur bahwa yang menjadi objek penertiban tanah terlantar, meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Pasal 2 ini bila dibaca secara independen, maka menimbulkan tafsir hukum yang argument acontrario dengan keberadaan tanah sebagai fungsi sosial karena eksistensi tanah hak milik perorangan dan tanah yang dikuasai pemerintah pun merupakan objek tanah yang dapat diindikasikan sebagai tanah terlantar apabila tidak sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Hal ini tentunya akan menimbulkan resistensi secara faktual, karena tanah-tanah yang dimiliki perorangan belum tentu dimanfaatkan sesuai keadaan atau sifat atau tujuan pemberian dikarenakan persoalan ketidakmampuan secara ekonomi untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkannya. Selain itu, tanah yang dikuasai pemerintah tersebut tidak dipergunakan karena keterbatasan anggaran negara/daerah sehingga penggusaannya, penggunaannya, atau peruntukannya tidak sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Sebagai wujud resolusi permasalahan dimaksud, dalam PP PPTT diatur mengenai pengecualian objek tanah terlantar yakni tanah hak milik atau tanah hak guna bangunan atas nama perorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya dan tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung ataupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus barang milik negara/daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan.
Untuk dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar ada proses yang harus dilalui terlebih dahulu, yakni proses identifikasi dan penelitian oleh Kepala Kantor Wilayah BPN. Identifikasi dan penelitian tersebut dilaksanakan terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, atau sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang. Apabila dari hasil identifikasi dan penelitian disimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah BPN memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis kepada pemegang hak, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya. Apabila pemegang hak tetap tidak melaksanakan kawajibannya, maka pemegang hak diberikan peringatan tertulis sebanyak (2) lagi setelah peringatan pertama dengan jangka waktu masing-masing 1 (satu) bulan. Apabila pemegang hak tetap tidak melaksanakan peringatan tersebut, maka Kepala BPN menetapkan tanah tersebut sebagai tanah terlantar. Selanjutnya tanah terlantar dimaksud dibuat penetapannya mengenai hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar, peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar tersebut didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dam program strategis negara untuk cadangan negara lainnya. Reforma Agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah dapat melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar.

Didasari hal di atas, hubungan hukum antara reforma agraria serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar secara yuridis, yakni antara UUD NRI 1945, UUPA, dan PP PPTT menjadi sumber kepastiann hukum bagi penggunaan tanah terlantar dalam mewujudkan reforma agraria. Melalui regulasi ini kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar guna mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat; mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan; menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan; memperkuat harmoni sosial, dan optimalisasi pengusahaan, penggunaan tanah; meningkatkan kualitas lingkungan hidup; mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja; serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi dapat dilaksanakan sebagaimana alasan sosiologis dan filosofir UUD NRI 1945, UUPA, dan PP PPTT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar