HUKUM PERTAMBANGAN


Blog ini merupakan publikasi pemikiran saya (Ahmad Redi) terhadap berbagai persoalan mengenai hukum pertambangan. Materi dalam blog ini mungkin tampak sederhana, namun dari kesederhanaan inilah saya berupaya untuk dapat menulis secara aktif, substantif, dan filosofis dengan mengdepankan keorisinalitasan karya. Saya meyakini bahwa banyak keserdahanaan yang melahirkan karya-karya agung yang fenomenal dan monumental.


Rabu, 11 April 2012

SECERCAH CAHAYA PENGATURAN DIVESTASI SAHAM PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA






SECERCAH CAHAYA PENGATURAN DIVESTASI SAHAM
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

*Ahmad Redi, S.H.,M.H.

          Setelah sempat terjadi kekosongan pengaturan mengenai pengenaan kewajiban divestasi saham pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang dimiliki perusahaan asing, terutama terkait belum adanya pengaturan tahapan (waktu) divestasi saham serta belum mencerminkannya semangat penguasaan mineral dan batubara oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, kini dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, sejumlah persoalan di bidang pertambangan mineral dan batubara mulai terjawab.


          Peraturan Pemerintah (PP) yang ditetapkan oleh Presiden dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 21 Februari 2012 ini kehadirannya telah ditunggu oleh banyak pihak. Sebagaimana dibahas di atas, bahwa persoalan tahapan (waktu) divestasi saham oleh perusahaan asing kepada peserta Indonesia belum ada pengaturannya sebelum PP ini terbit. Apalagi dengan adanya pengenaan kewajiban divestasi saham oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengatur bahwa setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemagang IUP dan IUP Khusus (IPUK) yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah (pusat), pemerintah daerah, badan usaha milik Negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), atau badan usaha swasta nasional (Pasal 112 ayat (1)). Kemudian sebagai aturan organis dari UU No.4 Tahun 2009 ini, terbitlah PP No. 23 Tahun 2010 yang diantaranya mengatur mengenai peraturan pelaksanaan dari Pasal 112 UU No. 4 Tahun 2009 yang dalam Pasal 97 mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dimiliki peserta Indonesia yang penawaran saham tersebut dilakukan secara hirarkies, maksudnya pertama-tama ditawarkan kepada Pemerintah (pusat) dan apabila Pemerintah (pusat) tidak berminat maka ditawarkan kepada pemerintah daerah, dan seterusnya.
          Terhadap pengaturan dalam PP 23 Tahun 2010 tersebut, ada beberapa persoalan pokok yang menimbulkan perdebatan, antara lain mengenai komposisi saham paling sedikit 20% (dua puluh persen) yang dianggap belum mencerminkan kedaulatan sektor pertambangan Negara sebagaimana amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945, yaitu negara sebagai penguasa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya hanya memiliki hak kepemilikan saham sebesar paling sedkit 20% (dua puluh persen). Padahal dalam Pasal 4 UU No.4 Tahun 2009 mengatur bahwa mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Secara filosofis, terdapat perbedaan makna antara “penguasaan” dan “pemilikan”, sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2010 tentang Minyak dan Gas Bumi, bahwa:
 “Interpretasi Pasal 33 UUD 1945 mengenai “penguasaan” dengan penguasaan negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukan semata-mata pemilikan. Pemilikan adalah konsep perdata, sedangkan penguasaan adalah konsep tata negara. Di dalam konsep menguasai tersebut tercakup pengawasan, pemilikan, pengelolaan dan sebagainya. Itu merupakan kebijakan negara. Yang penting adalah menentukan bagaimana kebijakan mengenai teknis penguasaan yang tergantung  kepada komoditinya. Apakah suatu komoditi penting bagi negara atau menguasai hidup orang banyak atau tidak tergantung kondisi, situasi dan perkembangan zaman. Jadi dapat saja berubah. Misalnya migas kalau suatu hari nanti ada penggantinya jauh lebih hemat dan ramah lingkungan boleh jadi migas tidak dianggap penting lagi bagi negara atau tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak. Berikutnya adalah bagaimana cara menguasainya. Yang penting adalah cara yang tidak merubah status menguasai itu sendiri. Misalnya pemilikan, pemilikan adalah salah satu bentuk penguasaan, tetapi tidak harus 100 persen, bisa saja 25 persen  jika 25 persen tersebut berada pada posisi menguasai. Sebaliknya walaupun 49 persen tetapi menentukan direktur saja tidak bisa, berarti tidak berkuasa. Jadi konsep menguasai jelas sekali. Jangan sampai ketentuan konstitusi diplesetkan “Bumi dan air dan segala kekayaan alam yang terkandung  di dalamnya dikuasai oleh negara dan dijualbelikan dengan harga internasional, dikuasai oleh negara dan dijualbelikan dengan rakyat dengan harga internasional untuk sebesar-besar kemakmuran pejabat negara.”Di sisi lain harus disadari bahwa negara ini sudah terintegrasi oleh ekonomi dunia. Seorang negarawan harus pandai-pandai melihat dan menilai dari banyak aspek. Jangan hanya melihat dari satu kacamata teori ekonomi saja. Pasal 33 UUD 1945 janganlah  dipahami secara kaku. Pasal 33 UUD 1945 tidak anti privatisasi dan tidak juga anti swastanisasi. State hanya salah satu domain saja dari 3 (tiga) domain yang ada, yaitu statecivil society, dan market. Hakim harus adil  di tengah-tengahnya, tidak bisa hanya memihak negara dalam pengertian sempit, begitu juga civil society, tidak juga berpihak kepada market. Ketiganya harus sama-sama kuat saling mengimbangi. Dalam sistem demokrasi moderen ketiganya  saling menunjang dan harmoni. Dengan begitu demokrasi tumbuh sehat, dan di tengah demokrasi yang sehat kesejahteraan  sosial-pun tumbuh.”[1]
          Dengan demikian konsep “penguasaan” mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan tersebut sangat erat kaitannya dengan tujuan dari penguasaan untuk kemakmuran rakyat. Keterkaitan penguasaan oleh negara untuk kemakmuran rakyat, menurut Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban negara dalam hal:[2]
1.    segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;
2.    melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat;
3.    mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknnya dalam menikmati kekayaan alam.
         
         Secara riil, bentuk penguasaan oleh negara tersebut dapat dimanifestasi dari adanya pola pemberiaan izin dari negara (pemerintah) kepada pihak lain untuk dapat memanfaatkan suatu sumber daya alam yang dikuasai negara melalui rezim perizinan. Pemberian izin tersebut bukan berarti suatu penguasaan oleh negara kemudian beralih kepada penguasan oleh bukan negara, namun dengan rezim perizinan memperjelas kedudukan negara (pemerintah) sebagai entitas yang memiliki kekuasaan terhadap penguasaan sumber daya alam.
         Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU No. 4 Tahun 2009, IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota. Pemberian izin tersebut memperkuat kedudukan Negara sebagai “penguasa” sumber daya alam.
         Selain itu, bentuk penguasaan oleh negara terhadap sumber daya alam mineral dan batubara sebagaimana diulas sebelumnya bentuk divestasi saham pemegang izin usaha pertambangan asing kepada peserta Indonesa. Karakteristikan penambangan mineral dan batubara yang high cost, high technology, high risk memang mengharuskan perusahaan asing untuk dapat pula dalam kegiatan usaha pertambangan di Indonesia. Modal besar, teknologi tinggi, serta kesiapan atas kerentanan resiko masih belum banyak dimiliki oleh perusahaan nasional, sehingga mau tidak mau perusahaan asing dapat melakukan kegiatan penambangan mineral dan batubara, sehingga selain menembus kesulitan modal dan teknologi, maka potensi tambang yang ada tidak dibiarkan saja tanpa pengelolaan sehingga menjadi “silent trove” namun dapat menjadi penerimaan negara serta terjadinya alih teknologi guna mendukung teknologi dalam negeri.
         Guna mengembalikan penguasaan dan pemilikan mineral dan batubara tersebut dibentuklah konsep pengalihan kembali atau divestasi saham dari perusahaan asing tersebut kepada peserta Indonesia. Melalui pengaturan 5 (lima) tahu setelah berproduksi memungkinkan pelaku usaha asing mendapat keuntungan secara penuh selama 5 tahun awal sebelum didivestasikan sahamnya. Selain itu, peserta Indonesia (Pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan swasta nasional) tidak serta merta menerima pengalihan saham secara cuma-cuma, saham yang ditawarkan tersebut tentunya dibeli sesuai dengan mekanisme pasar.
         Sebagaimana dalam PP No. 24 Tahun 2012 bahwa dalam rangka memberi kesempatan lebih besar kepada peserta Indonesia untuk lebih berpartisipasi dalam kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, perlu mewajibkan modal asing untuk mengalihkan sebagian sahamnya kepada peserta Indonesia, Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dimiliki peserta Indonesia. Perubahan jumlah saham yang ditawarkan dari semula paling sedikit 20% (dua puluh persen) menjadi paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) merupakan bentuk semangat dari Pemerintah untuk memberikan partisipasi kebih besar kepada peserta Indonesia, selain bahwa secara filosofis memuat kepentingan agar penguasaan serta kedaualatan sektor pertambangan  mineral dan batubara berada di tangan Negara.
         Selain itu, untuk memperjelas mekanisme persentase penawaran yang dalam PP No. 23 Tahun 2010 belum diatur makan dalam PP No.24 Tahun 2012 hal tersebut diatur. Kepemilikan peserta Indonesia dalam setiap tahun setelah akhir tahun kelima sejak produksi tidak boleh kurang dari presentase sebagai berikut: tahun keenam 20% (dua puluh persen); tahun ketujuh 30% (tiga puluh persen); tahun kedelapan 37% (tiga puluh tujuh persen); tahun kesembilan          44%   (empat puluh empat persen); tahun  kesepuluh  51%  (lima  puluh  satu  persen) dari jumlah seluruh saham. Dengan demikian, tidak terjadi kekosongan pengaturan mengenai tahapan waktu pengaturan sebagaimana dalam PP No. 23 Tahun 2010 belum diatur.
         Namun demikian, terdapat persoalan pula dari rumusan tersebut, yaitu bagaimana bila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah berproduksi komoditas tambang yang diusahakan telah habis terlebih dahulu sebelum sahamnya dialihkan kepada peserta Indonesia. Tentunya akan menjadi persoalan tersendiri, terutama apabila dengan sengaja perusahaan tambang asing tersebut memproduksi komoditas tambangnya secara besar-besaran dalam 5 (lima) tahun masa produksi sebelum dikenakan kewajiban divestasi saham. Persoalan ini harus ditelaah dulu secara ilmu pertambangan, sehingga apabila mungkin persoalan ini menjadi sesuatu yang mungkin, maka sebaiknya segera pula dicarikan solusi hukumnya.
         Lahirnya PP No. 24 Tahun 2012 menjadi secercah harapan bagi beberapa persoalan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, selain permasalahan divestasi saham, PP ini pun mengatur menganai penataan kembali  pemberian IUP untuk mineral bukan logam dan batuan; tata cara permohonan IUP perpanjangan dalam bentuk IUP terhadap pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara sehingga memberikan kepastian hukum. Semoga dengan lahirnya PP ini dapat menjadi instrument bagi potensi mineral dan batubara untuk dapat sebesar-besar kemakmuran rakyat.







[1] Jimly Asshiffiqie, Politik Perekonomian Nasional, http://www.jimly.com/pemikiran/view/17
[2] Bagir Manan, dkk, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Masdar Maju, 1995), hlm. 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar