Polemik status kewarganegaraan Arcandra Tahar, menimbulkan polemik pula
terkait kebijakan pemberian rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport Indonesia.
Rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport oleh Direktur Jenderal Mineral
dan Batubara (Dirjen Minerba) atas nama Menteri ESDM pada tanggal 9 Agustus
2016 menyulut polemik di masyarakat.
Surat rekomendasi ini dianggap sebagian pihak penuh dengan kepentingan PT
Freeport sehingga penerbitannya di era Arcandra Tahar pada saat menjadi Menteri
ESDM selama dua puluh hari menambah bumbu-bumbu kekisruhan pengangkatan
Achandra sebagai Menteri ESDM. Bahkan untuk mengamankan posisi Arcandra sebagai
Menteri ESDM dua puluh hari saat itu, beredar di media pernyataan Luhut Binsar
Panjaitan yang akan mem-buldozer setiap orang yang mengganggu Arcandra, selain
pula penyataan Luhut bahwa surat rekomendasi ekspor kepada PT Freeport ditandatangani
oleh Menteri ESDM pada saat dijabat oleh Sudirman Said.
Muara Polemik
Muara polemik rekomendasi ekspor konsentrat ini bermula dari adanya
pengaturan yang visioner dan sangat merah putih dalam UU No. 4 Tahun 2009
tetang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), khususnya dalam Pasal
170 UU Minerba yang mengatur bahwa pemegang kontrak karya yang sudah
berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan. Kewajiban pemurnian bagi PTFI ini dimaksudkan
antara lain untuk mengoptimalkan nilai tambah produk, penyerapan tenaga kerja,
dan peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Melalui kewajiban pemurnian
mineral ini, mineral dari Indonesia tidak diangkut mentah-mentah berupa ore atau konsentrat ke luar negeri.
Kenyataannya, ketika pada tahun 2014 atau lima tahun setelah UU Minerba
diterbitkan PT Freeport belum dapat memurnikan seluruh hasil tambangnya sebelum
diekspor belum juga melakukannya. PT Freeport belum membangun fasilitas pemurnian
di dalam negeri untuk memurnikan hasil tambangnya. Padahal UU Minerba telah
memberikan waktu lima tahun agar PT Freeport membangun fasilitas ini sejak 2009.
Celakanya, Januari 2014 harus ada kepastian hukum agar Pasal 170 UU
Minerba dilaksanakan padahal PT Freeport dkk, termasuk pemegang izin usaha
pertambangan, belum menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian baik secara
sendiri maupun bekerja sama. Pemerintah saat itu menerbitkan PP No. 1 Tahun
2014 yang intinya mempertegas bunyi Pasal 170 UU Minerba. Namun, melalui
Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 PT Freeport diberi jangka waktu
sampai 2017 untuk tetap mengekspor mineral dengan catatan 2017 harus telah
selesai membangun smelter dengan harus
membayar bea keluar dengan kisaran antara 20 persen sampai dengan 25 persen dari
12 Januari-31 Desember 2014, 30 persen sampai dengan 40 persen dari 1 Januari
2015-31 Desember 2015, 50 persen sampai dengan 60 persen dari 1 Januari 2016-31
Desember 2017 sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2014, namun Peraturan
Menteri Keuangan ini diubah dengan Peraturan Menteri Nomor 153 Tahun 2014 yang
besaran bea keluarnya paling banyak sebesar 7.5 persen.
Sebagai pedoman pemberian izin ekspor mineral yang belum dimurnikan
maka Menteri ESDM saat itu menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun
2014 tentang Tata Cara Pemberian dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi
Penjualan Mineral ke Luar Negari Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Peraturan
Menteri ini mengatur mengenai tata cara permohonan rekomendasi kepada Menteri ESDM,
persyaratan, rencana pembangunan smelter,
jaminan kesungguhan, dan evaluasi oleh Menteri ESDM atas perkembangan
pembangunan smleter. Dalam Peraturan Menteri ESDM ini, PT Freeport
diharuskan membayar jaminan kesungguhan sebesar lima persen dari nilai investasi
baru atau lima persen dari sisa nilai investasi yang belum terealisasi bagi
pembangunan fasilitas pemurnian yang sudah berjalan.
Melalui jaminan kesungguhan ini, diharapkan PT Freeport akan membangun smelter. Dalam Pertaruran inilah, surat
rekomendasi ekspor kepada PT Freeport, termasuk PT Newmont dan lain-lain,
muncul. Rekomendasi ekspor diberikan setiap enam bulan oleh Dirjen Mineran atas
nama Menteri ESDM. Maksud pemberian rekomendasi tiap enam bulan ini untuk
mengevaluasi perkembangan pembangunan smelter
tiap enam bulan sekali sebelum diberikan perpanjangan enam bulan berikutnya.
Dalam Pasal 14 Permen ESDM No. 11 Tahun 2014 diatur bahwa perpanjangan
permohonan untuk enam bulan selanjutnya dapat diberikan apabila pemegang
kontrak karya, dalam hal ini PT Freeport, telah memenuhi paling sedikit 60
persen pembangunan smleter dari
target setiap enam bulan. Sayangnya, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 5
Tahun 2016 yang mengubah Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2014, ketentuan
pemenuhan paling sedikit 60 persen ini diganti menjadi berapapun target yang
dipenuhi, perpanjangan ekspor dapat tetap diberikan oleh Dirjen Minerba atas
nama Menteri ESDM.
Persoalan Hukum
Terdapat persoalan hukum dalam pemberian rekomendasi ekspor mineral
kepada PT Freeport, yaitu, pertama, pemberian ekspor kepada PT Freeport
menyimpangi Pasal 170 UU Minerba yang melarang mineral yang belum dimurnikan di
dalam negeri, diekspor. Ekspor mineral secara terus menerus pasca 12 Januari
2014 (lima tahun sejak UU Minerba diterbitkan) ini merupakan bentuk pelecehan
PT Freeport pada UU Minerba.
Kedua, penerbitan rekomendasi ekspor kepada PT Freeport telah ada sejak
masa Menteri ESDM Jero wacik yang menerbitkan Permen ESDM No. 11 Tahun 2014
yang berimplikasi pada penerbitan rekomendasi ekspor mineral kepada PT
Freeport. Ketiga, tidak hanya PT Freeport yang menyimpangi kewajiban dalam
Pasal 170 UU Minerba dengan tidak terbangunnya fasilitas pemurnian mineral di
dalam negeri, namun Pemerintah saat itu yaitu pada tahun 2009-2014 juga tidak
melakukan pembinaan dan pengawasan agar PT Freeport membangun smelter sebelum
12 Januari 2014. Akhirnya permasalahan tiadanya pembinaan dan pengawasan kepada
PT Freeport menyisahkan persoalan pada Pemerintah setelah 2014.
Keempat, Pemerintah saat ini dapat dianggap pula menyimpangi UU Minerba
karena tidak dapat memaksa PT Freeport untuk melakukan pemurnian di dalam
negeri atas mineralnya. Kelima, Pemerintah terlalu memberikan kemudahan kepada
PT Freeport untuk dapat terus melakukan ekspor mineral yang belum dimurnikan,
padahal langkah ini mempersulit Pemerintah karena harus terus menerus
menyimpangi UU Minerba dan diprotes oleh DPR, termasuk masyarakat luas.
Langkah Tegas
Sebagai negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945, mau tidak mau, suka tidak suka, Pemerintah harus konsisten dengan UU
Minerba. Pasal 170 UU Minerba harus ditegakkan sebagaimana mestinya. Pemerintah
harus menghetikan memberikan rekomendasi dan izin ekspor kepada PT Freeport selama
PT Freeport belum membangun smelter.
Substansi kewajiban mengolah dan/atau memurnikan di dalam negeri atas mineral
sesungguhnya pernah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi dalam perkara
nomor 10/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 102 dan Pasal
103 mengenai kewajiban pengolahan dan/atau permunian mineral bagi pemegang Izin
Usaha Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Khusus tidak bertentangan dengan UUD
1945. Walau subjek hukumnya berbeda, yaitu kepada pemegang IUP/IUPK, namun
Pasal 170 yang memiliki kesamaan norma namun subjeknya pemegang Kontrak Karya,
sehingga secara substansional kewajiban Pasal 170 pun dapat dianggap sesuai
dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Akhirnya, PT Freeport harus memiliki ittikad baik untuk melaksanakan
aturan hukum nasional Indonesia sebagaimana mestinya, apalagi dalam Kontrak
Karya PT Freeport dinyatakan bahwa PT Freeport akan menaati undang-undang
Indonesia from time to time, dari
waktu ke waktu. Kekayaan alam Indonesia ini harus memberikan sebesar-besar
kemakmuran bagi rakyat Indonesia, salah satunya melalui pengolahan dan
pemurnian hasil tambang PT Freeport di dalam negeri. PT Freeport harus
menghargai hukum Indonesia dan sebagai investor yang baik jangan hanya ingin
untungnya dan maunya sendiri. Sumber daya alam Indonesia harus memberikan
sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar