Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
Pengajar di FH Universitas Tarumanagara, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Pegiat Hukum Konstitusi Ekonomi
PT Medco Energy Internasional (PT Medco) melakukan aksi korporasi bombastis pada medio 2016 ini dengan mengakuisisi saham PT Amman Mineral Internasional (AMI) yang mengendalikan 82,2% saham PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) senilai US$2,6 miliar atau setara sekitar Rp.33,8 triliun. Aksi ini menjadi salah satu aksi korporasi terbesar di sektor pengusahaan pertambangan pada tahun 2016. PT AMI yang sahamnya dibeli oleh PT Medco sebelumnya telah melakukan pembelian saham Newmont Nusa Tenggara dari Newmont Mining Corporation, Sumitomo Corporation, PT Multi Daerah Bersaing, dan PT Indonesia Masbaga. Aksi korporasi PT Medco terhadap PT NNT melalui perantara PT AMI dapat menjadi persoalan dalam aspek hukum pertambangan mineral dan batubara dan dapat menjadi aksi akuisisi terlarang dalam rezim hukum pertambangan mineral dan batubara.
Persoalan hukum pertama, aksi korporasi tersebut melanggar ketentuan Pasal 112 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba yang mengatur bahwa setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham atau penjualan saham asing pada Pemerintah, pemda, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. Ketentuan ini dipertegas dalam PP No. 23 Tahun 2010 sebagimana telah diubah terakhir dengan PP No. 77 Tahun 2014 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Berdasarkan ketentuan UU Minerba maka PT NNT wajib melakukan penjualan sahamnya kepada peserta Indonesia secara berurutan yaitu kepada Pemerintah, pemda, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. Faktanya, saham tersebut dibeli langsung oleh badan usaha swasta nasional tidak terlebih dahulu ditawarkan secara berjenjang sebagaimana diatur dalam UU Minerba dan peraturan pelaksanaannya.
Secara tekstual Pasal 112 sasaran normanya yaitu subjek hukum berupa pemegang IUP bukan pemegang Kontrak Karya (KK) sebagaimana PT NNT yang melakukan kegiatan usaha pertambangan dengan instrumen KK bukan IUP, namun dalam Pasal 169 huruf b UU Minerba dinyatakan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU Minerba diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. Artinya, secara yuridis normatif ketentuan Pasal 112 UU Minerba mengenai kewajiban divestasi saham secara operasional berlaku pula pada PT NNT. Walau sesungguhnya pelaksanaan Pasal 169 huruf b ini masih menjadi perdebata,. khususnya mengenai adanya asas pacta sunt servanda dalam kontrak. KK sebagai kontrak bersifat suci dan tidak bisa diubah tanpa adanya kespakatan kedua belah pihak. Perubahan kontrak harus dilakukan melalui renegosiasi untuk mengamendem kontrak dan memasukkan kewajiban-kewajiban baru sesuai UU Minerba.
Persoalan hukum kedua, kewajiban divestasi saham PT NNT tidak hanya tertuang dalam UU Minerba, namun ia juga disepakati dalam KK antara Pemerintah RI dengan PT NNT. Dalam Pasal 24 ayat (3) dan ayat (4) KK PT NNT dikenai kewajiban divetasi saham kepada peserta Indonesia sebesar 51% pada tahun ke-10 sejak PT NNT berproduksi (tahun 2010). Kewajiban ini bahkan dipertegas oleh putusan sidang arbitrase penyelesaian sengketa antara Pemerintah Indonesia dengan PT NNT atas pelanggaran PT NNT terhadap kewajiban divestasi saham. Sidang arbitrase dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 8 sampai dengan 13 Desember 2008 dan dilaksanakan dibawah prosedur arbitrase United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dan pada tanggal 31 Maret 2009 Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) mengeluarkan putusan akhir, yang pada pokoknya memenangkan Pemerintah Republik Indonesia dan menyatakan putusan sebagai berikut: (1) memerintahkan PT NNT untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (3) Kontrak Karya mengenai kewajiban divestasi saham; (2) menyatakan PT NNT telah melakukan default (pelanggaran perjanjian); dan (3) memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17% saham, yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3% dan tahun 2007 sebesar 7% kepada Pemerintah Daerah. Sedang untuk tahun 2008 sebesar 7%, kepada Pemerintah Republik Indonesia. Semua kewajiban di atas harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan Arbitrase. Berdasarkan kesepakatan dalam KK dan diperkuat dengan putusan majelis arbitrase internasional maka PT NNT harus mendivestasikan sahamnya kepada Pemerintah Indonesia.
Persoalan hukum ketiga, secara filosofis pengenaan kewajiban divestasi saham bagi perusahaan asing di Indonesia didasarkan pada pemikiran bahwa dengan adanya kepemilikan saham Pemerintah maka akan terjadi peralihan manfaat/keuntungan dan peralihan kendali atas sumber daya alam mineral Indonesia dari perusahaan asing ke Pemerintah Indonesia. Peralihan manfaat tersebut misalnya terakit dengan dividen karena saham Pemerintah mayoritas, dan hak-hak istimewa lainnya seperti jatah komisaris dan penentuan manajemen perusahaan. Sedangkan, peralihan kendali yaitu menyangkut adanya kepemilikan saham mayoritas oleh Pemerintah sehingga adanya jaminan kepatuhan atas antara lain kewajiban good mining practices, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, royalti, perpajakan.
Kepemilikan saham oleh Pemerintah ini pun menurut Mahkamah Konstitusi merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 khususnya mengenai fungsi negara melakukan pengelolaan (beheersdaad) yang dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan 3 pertimbangan di atas, maka secara hukum PT NNT hanya dapat menjual sahamnya kepada Pemerintah. Apabila Pemerintah tidak berminat, maka jatah penawaran selanjutnya harus ke pemda, apabila pemda pun tidak berminat maka harus ditawarkan ke BUMN, selanjutnya BUMD, terakhir badan usaha swasta nasional. Faktanya, PT NNT langsung menjual sahamnnya ke PT Medco. Menyedihkan lagi, pembiayaan yang didapat PT Medco berasal antara lain dari pembiayaan tiga BUMN. Padahal bila ingin berdiri dalam kepentingan nasional maka aksi korporasi pembelian saham mayoritas PT NNT dapat dilakukan langsung oleh BUMN tanpa melalui PT Medco. Toh, PT Medco pun mengakuisisi PT NNT melalui pembiayaan dari BUMN. Padahal dengan kepemilikan oleh BUMN, misalnya PT ANTAM, PT Bukit Asam, atau PT Nikel maka unsur penguasaan dan pengusahaan oleh negara dapat menjamin terselenggaranya sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 ayat (3).
Tentu, secara yuridis-normatif dan filosofis aksi korporasi PT Medco dapat menjadi aksi korporasi yang terlarang karena merugikan kepentingan nasional termasuk kepentingan hukum. Sudah seharusnya BUMN pertambangan dijadikan instrumen utama dalam pembelian saham-saham perusahaan pertambangan yang dikenai kewajiban divestasi saham. Bukan sebaliknya, BUMN pertambangan hanya sebagai penonton, menyaksikan BUMN perbankan membiayai perusahaan lain bukan BUMN untuk mengusahakan kegiatan pertambangan minerba. Padahal, sumber daya alam Indonesia harus diselenggarakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan sebesar-besar kemakmuran kelompok-kelompok kecil pemilik akses dan/atau modal.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar