Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam,
Pengajar Fakultas Hukum Universitas TarumanAgara
Jumat,
5 Februari 2016, PT Freeport Indonesia (PTFI) menyampaikan surat ke Menteri Energi
dan Sumber Daya Minaral mengenai permasalahan kesulitan keuangan PT FI. Surat
PT FI tersebut menindaklanjuti permintaan Pemerintah agar PT FI membayar USD
530 juta sebagai jaminan pembangunan smelter
hingga hingga saat ini belum diselesaikan oleh PTFI. Kewajiban pembangunan smelter ini merupakan buntut panjang
dari ketentuan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang mengatur bahwa setelah 5 (lima) tahun UU
Minerba diundangkan maka seluruh pemegang Kontrak Karya wajib melakukan
pemurnian di dalam negeri atas hasil tambangnya. Ketentuan tersebut dipergetas
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014. PTFI termasuk pihak yang
dikenai kewajiban ini.
Secara
hukum, sejak 12 Januari 2014 (lima tahun sejak UU Minerba diberlakukan)
seharusnya PTFI tidak boleh lagi melakukan ekspor konsentrat yang belum
dimurnikan di Indonesia. Namun, kenyataannya melalui Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Melalui
Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri, PTFI diberikan kesempatan
ekspor konsentrat. Terkait PTFI, Peraturan Menteri ini mengadung substansi: (1)
PT FI diberikan waktu paling lanbat 3 (tiga tahun) yaitu sampai 2017 untuk tetap
dapat melakukan ekspor konsentrat; (2) PT FI tetap dapat melakukan ekspor
konsentrat apabila berdasarkan evaluasi Direktur Jenderal Mineral dan Batubara,
Kementerian ESDM memberikan rekomendasi untuk melakukan penjualan ke luar
negeri untuk jangka waktu 6 (enam) bulan; dan (3) Setelah 2017 PTFI harus
mengolah dan/atau memurnikan hasil tambangnya sesuai dengan batasan minimum
tertentu.
PTFI
telah diberikan izin ekspor melalui 2 (dua) kali Memorandum of Understanding (MoU) antara Kementerian ESDM dengan
PTFI, yaitu MoU pada 25 Juli 2014 dan MoU 23 Januari 2015 serta rekomendasi dari
Kementerian ESDM pada Juli 2015 untuk enam bulan ekspor sampai dengan 28
Januari 2016. Kenyataannya, hingga saat ini PTFI baru menyelesaikan progress pembangunan smelter sekitar 14 persen. Padahal
seharusnya PTFI telah menyelesaikan progress pembangunan 60 persen agar pada
tahun 2017 PT FI telah memiliki smelter sesuai
dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014.
Adakah
Itikad Baik PT FI?
Setelah
lima tahun diberikan waktu oleh UU Minerba yaitu dari tahun 2009 sampai dengan
tahun 2014, diberikan lagi waktu melalui dua kali MoU masing-masing enam bulan,
serta sekali surat rekomendasi dari Kementerian ESDM selama enam bulan kembali
agar PTFI tetap dapat mengekspor konsentrat untuk dimurnikan di luar negeri
seperti Spanyol dan Jepang, apakah upaya baik Pemerintah Indonesia harus
diingkari dengan terus menempatkan Pemerintah Indonesia di posisi sulit? Secara
hukum, Pemeritah dapat saja dianggap melanggar UU Minerba yang mangatur bahwa
setelah 12 Januari 2014 tidak ada lagi eskpor ore/konsentrat dari Indonesia yang belum diolah dan/atau dimurnikan
di Indonesia.
Segala
dalil hukum yang disampaikan oleh PTFI yang seolah mendudukan Kontrak Karyanya
di atas segala perundang-undangan Indonesia. Dalil bahwa Kontrak Karya
merupakan undang-undang bagi para pihak
sehingga harus ditaati oleh para pihak (asas pacta sunt servanda) karena kontrak itu suci (asas sanctity of contract) menjadi dalil
sacral yang terus didengung-dengungkan. Padahal apabila membaca kembali Pasal
10 ayat 4 dan ayat 5 Kontrak Karya PTFI bahwa terdapat kesepakatan: (1) PT FI
harus mengolah bijih untuk menghasilkan logam atau produk lain; (2) Untuk tujuan
pengolahan bijih tersebut, PTFI harus menyusun atau mengusahakan untuk disusun
Studi Kelayakan mengenai kemungkinan didirikannya pabrik peleburan di Indonesia
yang harus tunduk pada pengamatan Pemerintah dan penilaian bersama oleh
Pemerintah dan PT FI mengenai kelayakan ekonomi pabrik peleburan tersebut; (3)
Pabrik peleburan harus berlokasi di Indonesia dan harus pula menguntungkan
secara ekonomi; dan (4) Apabila pabrik peleburan tersebut dibangun oleh
perusahaan atau subsidiari yang seluruh sahamnya dimiliki perusahaan, pabrik
peleburan tersebut akan merupakan satu bagian dari pengusahaan berdasarkan KK.
Selain
itu, dalam KK dinyatakan pula bahwa PTFI menyadari kebijakan Pemerintah ingi
mendorong pengolahan di dalam negeri atas semua kekayaan alamnya untuk menjadi
produk-produk akhir, apabila layak, PTFI juga menyadari keinginan Pemerintah
agar pabrik peleburan dan pemurnian didirikan di Indonesia. Dalam Pasal 10 ayat
5 KK juga dinyatakan bahwa apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
ditandatangani KK fasilitas peleburan dan pemurnian yang berlokasi di Indonesia
belum dibangun atau tidak dalam proses untuk dibangun oleh badan lain, maka PT
FI tunduk kepada penilaian bersama oleh Pemerintah dan PT FI atas kelayakan
ekonomi dari suatu pabrik peleburan dan pemurnian tembaga di Indonesia sesuai
dengan dengan kebijakan Pemerintah.
Jelas
bahwa dalam ketentuan Pasal 10 KK tersebut mengadung kewajiban bagi PTFI untuk
membangun pabrik peleburan dan pemurnian di Indonesia. Bahkan dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun sejak KK ditandatangani belum terbangun fasilitas
peleburan dan pemurnian di Indonesia, maka PTFI tunduk pada kebijakan
pemerintah. Bila Pemerintah kebijakannya menginginkan PT FI agar membangun
pabrik peleburan dan pemurnian, maka menurut ketentuan dalam KK, PT FI harus membangunnya.
Bahkan
tindakan pemurnian di luar negeri ini dianggap tidak sesuai dengan Pasal 33
ayat (3) UUD NRI 1945 yang dipertegas oleh Mahakamah Konstitusi dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa ketentuan
kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri terhadap seluruh hasil
tambang di Indonesia telah sesuai dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah Konstitusi
kewajiban pemurnian di dalam negeri tersebut, Konstitusional. Pertanyaannya
apakah PTFI mau menghormati Konstitusi bangsa Indonesia, UU Minerba, dan KK
yang disepakatinya? Apakah ada itikad baik untuk menghormati landasan filosofi,
sosiologis, dan yuridis penyelenggaraan kekayaan alam Indonesia untuk
sebesar-besar kemakmuran Indonesia? Bila tidak ada penghormatan lagi maka taka da
bedanya antara PT FI dengan VOC yang menjajah bangsa ini.
Ilusi
Keuangan PT FI
Walau
tidak memiliki itikad baik, Pemerintah pun berupaya tetap memberikan jalan
tengah dengan menerapkan instrumen ekonomi sebagai kompensasi dugaan
pelanggaran instrumen hukum Pasal 170 UU Minerba. Instrumen ekonomi itu ialah agar
PT FI membayar sejumlah USD 530 juta sebagai jaminan pembangunan smelter.
Namun, Jumat 5 Februari 2015, PT FI mengirimkan surat yang memberitahukan bahwa
PT FI mengalami kesulitan ekonomi. Pernyataan PT FI mengenai kesulitan keuangan
merupakan bentuk inkonsistensi PT FI terhadap:
Partama, Pasal 170
UU Minerba yang mewajibkan PT FI melakukan pemurnian di dalam negeri atas
konsentratnya. UU Minerba mengandung filosofi bahwa pengusahaan minerba bukan hal
bisnis jual beli tanah air, sehingga atas tanah (mineral) Indonesia harus
dibawa keluar negeri apabila sudah diolah dan/atau di Murnikan di dalam negeri.
Bukan tanah (mineral) mentah/konsentrat yg selama ini dilakukan oleh PTFI. Kedua, dalam Pasal 10 Kontrak Karya, PTFI
pun diwajibkan untuk melakukan pengolahan bijih di dalam negeri atas penilaian
bersama dengan Pemerintah dari aspek keekonomian. Namun faktanya, PTFI malah
membangun pabrik pemurnian di luar negeri, misalnya Spanyol dan Jepang. Ketiga, selama ini PTFI mengubar
pernyataan bahwa akan menginvestasikan dana senilai USD 18 miliar, yang terdiri
atas USD 2.5 miliar untuk pembangunan smelter
dan USD 15.5 miliar untuk investasi tambang bawah tanah. Malah proyeksi
investasi tersebut dimasukkan sebagai komponen penghitung harga saham divestasi
PTFI yang ditawarkan kepada Pemerintah. Selain bahwa ilusi USD 18 miliar
tersebut dijadikan komoditas janji PT FI untuk mendapatkan perpanjangan operasi
pasca 2021 ketika KK PT FI berakhir.
Berdasarkan
fakta tersebut, jelas terdapat inkonsistensi dan itikad tidak baik dari PT FI
untuk melaksanakan kewajibannya kepada bangsa dan negara Indonesia. Jelas hal
tersebut merupakan bentuk pelecehan kepada bangsa dan negara Indonesia yang
menginginkan kehadiran PTFI memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai
dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Pemerintah
pun ditempatkan di posisi sulit oleh PTFI dengan pemberian izin ekspor
konsentrat. Kebijakan ini seolah melanggengkan ketidakpatuhan PTFI pada
landasan filosofi, sosiologis, dan yuridis pengelolaan sumber daya alam
Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, Menteri ESDM harus tegas dan
keras untuk memastikan PTFI membangun smelter dan menyelesaikan progress pembangunan 60% yang saat ini
baru mencapai 14%. Menteri ESDM pun selayaknya tidak melakukan revisi atas Peraturan
Menteri ESDM No.1 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri ESDM No.
8 Tahun 2015 dalam rangka memberikan kemudahan kembali kepada PTFI.
Akhirnya,
PT FI harus memiliki itikad baik untuk melaksanakan kewajiban hukum di
Indonesia dan berhenti untuk mencari celah dalam melanggengkan bisnisnya namun
merugikan bangsa Indonesia dan tidak menghormati hukum dan peraturan
perundang-undangan (law and regulation)
di Indonesia. Sekali lagi, “Bangsa yang waras tidak akan membiarkan setiap
orang asing yang berupaya menguras kekayaan alamnya tanpa memberikan manfaat
bagi bangsa tuan rumah”.
- - -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar