Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
(Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Pengajar FH Universitas Tarumanagara)
Setelah
menuai kecaman, Pemerintah akhirnya menunda pengenaan dana ketahanan energi
atau “Pungutan BBM” yang rencananya akan diterapkan pada Selasa, 5 Januari
2015. Sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said,
menyatakan bahwa pada tanggal 5 Januari 2015 akan terjadi penurunan harga BBM premium
yang semula Rp7.300 per liter menjadi Rp6.950 perliter. Dari harga keekonomian
tersebut, Pemerintah akan memungut dana ketahanan energi Rp200 per liter,
sehingga harga baru premium Rp7.150 per liter atau turun Rp150 per liter dari
harga sebelumnya. Sedangkan untuk harga BBM jenis solar yang semula Rp6.700
menjadi Rp5.650 per liter yang berdasarkan harga keekonomian tersebut,
Pemerintah akan memungut dana ketahanan energi sebesar Rp300, dengan demikian
harga baru solar menjadi Rp5.950 atau turun Rp800 per liter.
Namun
kenyataannya, Senin, 4 Januari 2015, Direktur Utama Pertamina Dwi Sucipto mengumumkan
bahwa harga solar akan turun dari Rp 6.700 menjadi Rp 5.650. Harga premium
untuk non-Jamali (Jawa, Madura, dan Bali) turun dari Rp 7.300 menjadi Rp 6.950,
sedangkan harga premium untuk Jamali turun dari Rp 7.400 menjadi Rp 7.050.
Penurunan kedua jenis BBM tersebut tidak dilakukan bersamaan dengan pengenaan
dana ketahanan energi. Pengumuman ini berbeda dengan apa yang sebelumnya
diumumkan oleh Sudirman Said pada tanggal 23 Desember 2015. Ini jelas merupakan
kebijakan mencla-mencle. Pengumuman
Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 23 Desember 2015
sebelumnya jelas menyatakan akan memungut dana ketahanan energi untuk BBM jenis
premium dan solar, namun rencana kebijakan tersebut dimentahkan sendiri oleh
Pemerintah melalui pengumuman dari Direktur Pertamina tadi malam (4 Januari
2016) yang juga dihadiri oleh Menteri Sudirman Said. Praktik mencla-mencle ini, jelas bukanlah
praktik pengurusan negara yang baik dan benar.
Praktik
ini merupakan bentuk dagelan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
terhadap masyarakat. Walau rakyat tentunya senang dengan turunnya harga BBM dan
penundaan pungutan BBM tersebut, namun kegaduhan yang dimunculkan oleh tindakan
Menteri Sudirman Said sebaiknya tidak perlu terjadi. Harus ada suatu cost benefit analysis yang mumpuni
sebelum rencana kebijakan tersebut dirilis ke publik sehingga potensi
resistensi akan dapat diminimilisir. Bukan sebaliknya persoalan yang sederhana
namun karena dibungkus dengan irasionalitas maka akan menjadi persoalan
kompleks. Diperlukan kajian social and
economic regulatory impact atas rencana kebijakan yang benar-benar dikaji
secara paripurna. Rakyat sebagai sasaran kebijakan jangan seolah-olah
dipermainkan dengan kebijakan yang mencla-mencle
dan membuat gaduh banyak kalangan.
Urgensi Ketahanan Energi
Sesungguhnya
ketahanan energi merupakan suatu hal yang krusial yang menjadi tugas berat bangsa
Indonesia. Ketahanan Energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi
dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka
panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup
(Pasal 1 angka 10 PP No.79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional). Ketahanan
energi menyangkut dua hal, yaitu adanya ketersediaan energi untuk kepentingan
nasional dan adanya akses masyarakat terhadap energi. Saat ini, ketersediaan
dan akses energi bagi masyarakat Indonesia terganggu.
Walau
dalam Kebijakan Energi Nasional, ketahanan energi Indonesia telah diarahkan
untuk mencapai, antara lain: a. paradigma sumber daya energi tidak dijadikan
sebagai komoditas ekspor semata tetapi sebagai modal pembangunan nasional; b.
kemandirian pengelolaan energi; c. ketersediaan energi dan terpenuhinya
kebutuhan sumber energi dalam negeri; d. akses untuk masyarakat terhadap energi
secara adil dan merata. Namun, kebijakan tersebut seolah menghadapi jalan
terjal dan panjang. Saat ini, Indonesia mengalami berbagai masalah energi, misalnya
penurunan produksi minyak bumi, pemanfaatan energi domestik yang masih rendah, akses
energi masih terbatas, ketergantungan impor BBM dan LPG, harga energi belum
kompetitif, bauran energi masih didominasi minyak bumi sedangkan energi baru
terbarukan (EBT) masih rendah, serta pemanfaatan energi belum efisien.
Sebagai
contoh, masalah penurunan produksi minyak bumi nasional padahal Indonesia
merupakan salah satu negara produsen tertua minyak dunia, jumlah cadangan minyaknya
saat ini hanya sekitar 0,20% dari cadangan minyak dunia. Sejak tahun 1995
produksi minyak bumi Indonesia menurun, dari sekitar 1,6 juta bpd, menjadi
sekitar 789 ribu bpd tahun 2014. Hingga saat ini, belum ada penemuan cadangan
minyak besar lagi selain dari lapangan Banyu-Urip Blok Cepu.
Menurut
data Dewan Energi Nasional, sejak tahun 2010-2013, laju penemuan cadangan
dibandingkan dengan produksi atau Reserve
to Production Ratio (RRR) sekitar 55%, artinya Indonesia lebih banyak
memproduksikan minyak bumi dibandingkan menemukan cadangan minyak. Padahal
idealnya setiap 1 barel minyak yang diproduksikan harus dikompensasi dengan
penemuan cadangan sejumlah 1 barel juga sehingga RRR sebesar 100% atau lebih
besar lebih bagus. Di sisi lain, konsumsi BBM yang terus meningkat sebagai
dampak dari pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk, sementara produksi
minyak mentah dalam negeri terus mengalami penurunan dan kapasitas kilang yang
stagnan menyebabkan impor minyak mentah dan BBM terus meningkat.
Ketergantungan
Indonesia pada minyak mentah dan BBM impor sangat besar. Selain dalam rangka
ketersediaan untuk kebutuhan dalam negeri, Indonesia pun harus memiliki cadangan
penyangga energi untuk menjadi ketahanan energi nasional. Belum lagi persoalan
krisis dan darurat energi, masalah pembangunan kilang dan storage, dan persoalan energi lainnya.
Hal
tersebut menjadi tugas berat Pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka
ketahanan energi nasional. Sehingga, dana ketahanan energi merupakan suatu hal
yang niscaya untuk mewujudkan ketahanan energi nasional. Namun, sayangnya dana
ketahanan energi ini dibungkus dengan rencana kebijakan yang memiliki landasan
hukum yang lemah dan tergesa-gesa.
Konstruksi Hukum Dana Ketahanan Energi
Sebagai
landasan hukum dana ketahanan energi, Menteri Sudirman Said mendasarkan pada
Pasal 30 UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. Dalam Pasal 30 tersebut, terdapat
norma hukum: (1) Pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan difasilitasi
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya; (2) Pendanaan
kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi,
antara lain bersumber dari APBN, APBD, dan dana dari swasta; (3) Pengembangan
dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi baru dan energi terbarukan
dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan; (4) Ketentuan
mengenai pendanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Apabila
bertolak dari Pasal 30 UU Energi an sich,
banyak logika hukum yang harus diluruskan dari rencana dana ketahanan energi
yang dipungut dari BBM jenis premium dan solar. Pertama, jelas dalam Pasal 30
diatur bahwa pendanaan yang dimaksud dalam Pasal 30 UU Energi digunakan dalam
rangka kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
energi. UU Energi hanya membatasi pendanaan yang diatur dalam UU Energi hanya
untuk: (1) penelitian; dan (2) pengembangan, tidak untuk pemanfaatan energi.
Artinya dalil Menteri Sudirman Said bahwa Dana Ketahanan Energi atau Pungutan
BBM akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur di sektor energi misalnya
pembangunan infrastruktur kelistrikan untuk menerangi lebih dari 12.500 desa
terpencil di seluruh Indonesia, merupakan argumentasi yang tidak tepat didalilkan
berdasarkan Pasal 30 UU Energi karena UU Energi membatasi pendanaan energi
hanya untuk penelitian dan pengembangan.
Walaupun
dalam Pasal 29 ayat (1) UU Energi yang dirujuk oleh Pasal 30 UU Energi
menyatakan bahwa: “Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
penyediaan dan pemanfaatan energi wajib difasilitasi oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya”. Artinya dalam Pasal 29 ayat (1) terdapat frasa
“penelitian dan pengembangan iptek” dan frasa “pemanfaatan energi”, namun
sayangnya dalam Pasal 30 dinyatakan bahwa: “Pendanaan kegiatan penelitian dan
pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 difasilitasi oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya”. Dalam Pasal 30 yang
mengatur mengenai pendanaan energi hanya terbatas pada “kegiatan penelitian dan
pengembangan” tidak termasuk kegiatan “pemanfaatan”. Keinginan pembentuk UU
Energi yang hanya membatasi pendanaan energi terbatas pada kegiatan penelitian
dan pengembangan, tertuang jelas dalam Pasal 30 UU Energi.
Bilapun,
Menteri Sudirman Said mengatakan bahwa dana ketahanan energi itu juga telah
diatur dalam PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional sebagaimana
diatur dalam Pasal 27 PP 79 Tahun 2009 yang mengatur mengenai pendanaan energi,
namun skema penguatan dana yang Pasal tersebut dilakukan peling sedikit melalui:
(1) peran perbankan nasional dalam pembiayaan kegiatan; (2) penerapan premi
pengurasan energi fosil untuk pengembangan energi, dan/atau (3) penyediaan
alokasi anggaran khusus oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk
mempercepat pemerataan akses listrik dan energi, tentunya harus diperjelas
dengan peraturan operasional mengenai pendanaan tersebut, khusunya mengenai
tata cara pemungutan, penyetoran, dan pengelolaannya yang harus mengikuti rezim
keuangan dan perbendaraan negara sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Kedua, kelemahan logika hukum Menteri
Sudirman Said dalam Dana Ketahanan Energi, yaitu jelas bahwa dalam Pasal 30 UU
Energi mengatur bahwa pendanaan kegiatan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi, antara lain
bersumber dari APBN, APBD, dan dana dari swasta. Frasa “antara lain” dalam
klausul “antara lain bersumber dari APBN, APBD, dan dana dari swasta” memang
memberikan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah untuk mencari
pendanaan lain selain sumber APBN, APBD, dan swasta. Namun, dalam skema
pendapatan negara, Pemerintah tidak dapat keluar dari ketentuan UU No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Pasal 11 ayat (3) UU Keuangan Negara bahwa
pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak (PNBP),
dan hibah. Lalu pertanyaannya, diletakan di klaster mana dana ketahanan energi
tersebut? Padahal UU Keuangan Negara hanya membagi klasifikasi pendapatan
negara ke dalam tiga jenis pendapatan yaitu pajak, PNBP, dan hibah.
Pilihan
paling relevan menurut penulis yaitu dana ketahanan energi dimasukkan ke dalam
pendapatan dari PNBP. Namun, untuk mendesain PNBP dari Pungutan BBM tentu harus
mengacu pada UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU
PNBP diatur bahwa tarif atas jenis PNBP ditetapkan dalam undang-undang atau
peraturan pemerintah yang menetapkan jenis PNBP yang bersangkutan. Hingga saat
ini belum ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang menetapkan jenis dan
tarif dana ketahanan energi. Sehingga, apabila Menteri Sudirman Said
berkeinginan akan memungut dana ketahanan energi maka harus dilakukan
reformulasi norma dalam Peraturan Pemerintah tentang PNBP yang Berlaku Pada
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Akhirnya,
langkah Sudirman Said yang sangat gegebah mengumumkan rencana dana ketahanan
energi dalam tiap liter BBM jenis premium dan solar tanpa dilengkapi
infrastruktur hukum yang kuat menjadi persoalan serius. Ini menambah beban
kerja Presiden dan Wakil Presiden yang harus mengoreksi kebijakan
menteri-menterinya kembali. Padahal, dana ketahanan energi tersebut dapat
dilakukan setelah semua infrastruktur hukum yang bersifat operasional dibentuk,
khususnya Peratura Pemerintah baik Peraturan Pemerintah pelaksanaan Pasal 30
ayat (4) maupun Peraturan Pemerintah tentang PNBP yang berlaku di Kementerian
ESDM.
Sebaiknya,
dalam rangka pengambilan kebijakan publik, para menteri harus berpikir secara
paripurna sebelum merilis dan mengeksekusi suatu rencana kebijakan. Bukan
sebaliknya menggunakan logika action dulu
baru mikir. Kasihan rakyat Indonesia,
terlalu sering dibuat gaduh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar