Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
Pengajar FH Universitas Tarumanagara, Pengamat
Hukum Sumber Daya Alam, Dewan Presedium Kaukus Muda Alumni Undip
Pada tahun 2021, Kontrak
Karya (KK) PT Freeport Indonesia di Komplek tambang Grasberg, Papua, akan
berakhir. Kompleks tambang Grasberg merupakan salah satu penghasil tembaga dan
emas terbesar di dunia dan mengandung cadangan tembaga terbesar di dunia.
Grasberg berada di jantung wilayah mineral yang sangat melimpah dan berusia panjang.
KK PT Freeport ditandatangani pada 7 April 1967 dan telah diperbarui pada 30 Desember 1991. Padahal harusnya,
KK tersebut berakhir pada 1997. PTFI telah melakukan eksplorasi, menambang, dan
memproses bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak di dua
tempat di Papua, masing-masing tambang
Erstberg (sejak 1967) dan tambang Grasberg
(sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Perpanjangan operasi tambang PT
Freeport menyangkut kepentingan seluruh bangsa dan negara Indonesia sehingga
harus dipastikan cost and benefit analysis bahwa perpanjangan tersebut
menguntungkan bangsa dan negara Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,
bukan hanya keuntungan PT Freeport semata. Selama ini, eksistensi PT Freeport
di Indonesia dianggap tidak memberikan keuntungan yang maksimal bagi Indonesia
dan sesungguhnya akan lebih bermanfaat apabila komponen bangsa Indonesia-lah yang
mengelolanya.
Menalar Menteri Sudirman Said
Di awal September 2015, Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (Menteri ESDM) seolah memberi angin surga kepada PT Freeport
dengan melakukan upaya penataan regulasi yang dianggap menghalangi
keberlanjutan usaha PT Freeport di Indonesia. Menteri ESDM mengusulkan
perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I,
substansi yang diusulkan oleh Menteri ESDM yaitu perpanjangan KK PT Freeport
melalui skema Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang permohonan
perpanjangan KK menjadi IUPK dapat dilakukan 10 (sepuluh) tahun sebelum KK berakhir.
Substansi lainnya yaitu degredasi pengaturan divestasi saham dari yang
sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah menjadi diatur dalam Peraturan
Menteri ESDM.
Selain itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (KESDM) nomor 61/SJI/2015 tanggal 9 Oktober 2015 dengan judul “PT
Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia Menyepakati Kelanjutan Operasi
Komplek Pertambangan Grasberg Pasca 2012” dalam siaran pers tersebut disampaikan
bahwa PT Freeport Indonesia (PTFI) dan Pemerintah Indonesia telah menyepakati
operasi jangka panjang dan rencana investasi PTFI. Bahkan melalui suray Menteri
ESDM nomor 7522/13/MEM/2015 tanggal 7 Oktober 2015 kepada James R Moffat,
Chairman of Board Freeport McMorran Inc, Menteri ESDM berjanji akan segera
menyelesaikan penataan ulang regulasi bidang mineral dan batubara agar PT
Freeport dapat segera memajukan permohonan perpanjangan operasi pertambangan
dan perpanjangan operasi pertambangan akan segara diberikan segera setalah
hasil penataan peraturan dan perundangan di bidang mineral dan batubara
diimpelementasikan. Entah apa yang ada dipikiran Sudirman Said sebagai Menteri
ESDM yang terlihat sangat lemah terhadap PT Freeport? Padahal kebijakannya yang
akan dikeluarkannya menyangkut kepentingan seluruh bangsa dan negara ini. Wajar
saja apabila Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya ‘ngamuk-ngamuk’
melihat rencana kebijakan Menteri Sudirman Said karena langkah Sudirman Said
memang perlu dirasionalisasi karena dianggap belum rasional.
Tentunya, KPK dan BPK harus turut
dilibatkan dalam pembuatan kebijakan yang berpotensi merugikan keuangan negara
karena potensi kerugian negara melalui penyelundupan kepentingan melalui
pembentukan regulasi dapat saja terjadi di sektor sumber daya alam, khususnya
pertambangan mineral dan batubara. Mungkin tidak ada prilaku koruptif, namun
kebijakan yang menguntungkan pihak lain dan sangat merugikan negara, merupakan
bentuk kesalahan yang bisa saja merupakan suatu perbuatan pidana.
PT Freeport ‘Bandel’?
Tambang Grasberg, Papua,
merupakan kekayaan alam bangsa Indonesia yang semestinya dapat dikelola sendiri
oleh Indonesia untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana
amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Ada beberapa hal yang menjadi alasan
mengapa Indonesia harus mengelola sendiri tambang Grasberg, Papua, yaitu: (1)
sebagai tambang emas terbesar di dunia tentu secara ekonomi akan memberikan
manfaat penerimaan negara yang besar bagi negara ini apabila dikelola langsung
oleh bangsa Indonesia sendiri; (2) selama ini PT Freeport cenderung ‘bandel’
atas kebijakan pemerintah, misalnya mengenai kewajiban pemurnian di dalam
negeri dan membangun smelter; (3)
besaran royalti yang sulit untuk dinaikkan dari 1% ke 3.75% sebagaimana diatur
dalam PP No. 9 tahun 2010 tentang PNBP di Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral padahal sebagai pemilik sumber daya alam Indonesia harusnya bangsa
Indonesia mendapat royalti tidak hanya 3.75% tetapi puluhan persen; (4) PT Freeport
sulit mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah dan BUMN sebagaimana perintah
UU No. 4 Tahun 2009 dan diwajibkan Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) KK tidak
dilaksanakan; (5) kebijakan pemerintah yang berusaha ‘membela’ kepentingan PT
Freeport menjadi beban bagi pemerintah sendiri, misalnya mengenai perpanjangan
ekspor konsentrat selama enam bulan oleh pemerintah melalui MOU kepada PT
Freeport membuat Pemerintah harus digugat ke pengadilan karena dianggap
melanggar peraturan perundang-undangan; (6) hasil tambang PT Freeport tidak
memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia secara maksimal misalnya untuk
ketersediaan bahan baku industri dalam negeri; dan (7) PT Freeport sejak
2012-2014 tidak membayar dividen saham kepada Pemerintah sebagai pemegang 9.36%
saham.
Indonesia
Mampu Kelola Grasberg
Berbagai alasan tersebut
memperkuat posisi pemerintah untuk mengelola sendiri Komplek tambang Grasberg
peninggalan PT Freeport pada 2021 nanti. Adapun skema yang dapat dilakukan
pemerintah, yaitu: pertama, pemerintah membentuk BUMN baru untuk melanjutkan
operasi produksi tambang Grasberg. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh
Pemerintah dengan membentuk BUMN PT Inalum setelah Pemerintah memutus kontrak
dan mengambil alih saham yang dimiliki pihak konsorsium peruhasaan Jepang pada
2013. Kedua, Pemerintah dapat menugaskan konsorsium atau holding BUMN baru yang terdiri atas PT Bukit Asam, PT Nikel, PT
Antam, dan beberapa BUMN di bidang perbankan untuk mengelola tambang Grasberg.
Ketiga, dengan skema pembelian saham divestasi PT Freeport sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 112 UU No.4/2009 bahwa pemegang KK harus mendivestasikan
sahamnya kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan perusahaan
swasta nasional. Kepemilikan saham pemerintah PT Freeport harus 51% sesuai
dengan ketentuan dalam PP No. 1/2014. Sayangnya, dalam PP No. 77 Tahun 2014
kepemilikan saham 51% ini didegredasi menjadi 30%. Melalui saham mayoritas maka
akan terjadi peralihan kepemilikan dan peralihan keuntungan dari PT Freeport
kepada pemerintah Indonesia. Pilihan ketiga tersebut, bukanlah pilihan yang
ideal karena saham divestasi yang akan dibeli oleh pemerintah tentunya
memerlukan dana yang sangat besar dan
akan membebani APBN. Sehingga upaya menunggu tahun 2021 ketika
berakhirnya KK PT Freeport dan atas KK tersebut tidak diperpanjang dalam bentuk
Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus
kepada BUMN tentunya menjadi pilihan terbaik agar dapat mewujudkan
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Secara prosedural, perpanjangan
KK menjadi IUPK harus dilakukan
sesuai dengan tahapan yang ada dalam UU No.4 Tahun 2009. Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU
No. 4 Tahun 2009 bahwa wilayah yang dapat diusahakan dengan IUPK ialah WUPK.
Sebelum menjadi WUPK suatu wilayah menjadi WPN terlebih dahulu. Penetapan WPN
harus disetujui oleh DPR RI. Artinya sebelum adanya IUPK, maka wilayahnya
merupakan WPN yang diubah menjadi WUPK. Selanjutnya, dalam Pasal 28 UU No. 4
Tahun 2009 diatur bahwa perubahan WPN menjadi WUPK harus mempertimbangkan:
a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri; b. sumber devisa
negara; c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana; d.
berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; e. daya dukung
lingkungan; dan/atau e. penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang
besar. Sayangnya, ketentuan ini disimpangi oleh PP No.77 Tahun 2014 (Pasal
112C) yang mengatur bahwa kepada KK dapat langsung diberikan IUPK, padahal
aturan ini tidak sesuai dengan aturan induknya yaitu Pasal 27 UU No. 4 Tahun
2009.
Pada kenyataannya, Menteri
ESDM mewacanakan akan memberikan perpanjangan KK PTFI dengan skema IUPK.
Padahal pemberian IUPK mengandung konsekuensi yuridis, yaitu wilayahnya harus
di-WPN kan terselebih dahulu, kemudian diubah menjadi WUP. Pengusahaan IUPK pun
dalam UU No. 4 Tahun 2009 diberikan prioritas kepada BUMN. Pemberian
‘ujug-ujug’ PTFI melalui skema IUPK maka terdapat beberapa potensi pelanggaran
hukum yang akan dilakukan oleh Pemerintah.
Saat ini tahun 2015, tahun 2021
saat PT Freeport berakhir KK-nya telah semakin dekat. Pemerintah harus telah
menyiapkan rencana kebijakan sejak saat ini karena apabila pemerintah salah
menentukan kebijakan maka akan menjadi warisan penderitaan bagi bangsa dan negara.
Perlu juga dihindari upaya-upaya perubahan peraturan perundang-undangan yang
sudah baik saat ini untuk kemudian diubah demi menguntungkan PT Freeport
semata. Upaya penyelundupan kepentingan perusahaan dan merugikan kepentingan
nasional melalui pengubahan peraturan perundang-undangan sangat berpotensi
dilakukan oleh unit pemerintah yang memiliki tugas pokok dan fungsi pembentukan
regulasi. Akhinya, bangsa Indonesia
harus bersatu untuk menentukan bahwa tambang Grasberg milik bangsa Indonesia
dan harus dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia. “Tuan rumah tidak akan
berunding dengan perampok yang merampok rumahnya” (Tan Malaka).
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar