Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
(Pengajar FH UNTAR, Pengamat Hukum Sumber Daya
Alam, Presidium Kaukus Muda Alumni UNDIP)
Beberapa hari ini publik dikejutkan oleh berita
laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said ke Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) mengenai perbincangan yang diduga antara Ketua DPR RI
Setya Novanto dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsudin
dan seorang pengusaha berinisial R. Perbincangan tersebut bersisi substansi
mengenai permintaan jatah saham PT Freeport yang akan diberikan kepada Presiden
Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Hingar bingar pemberitaan mengenai permintaan
jatah saham dan catutan nama Presiden dan Wakil Presiden serta dugaan
pelanggaran etis tersebut tentu tidak boleh mengaburkan isu sentral yang
menjadi persoalan PT Freeport saat ini. Setidaknya ada beberapa masalah
substansial yang harus terus dikawal oleh rakyat Indonesia mengenai eksistensi
PT Freeport di Indonesia akhir-akhir ini, yaitu persoalan divestasi saham,
persoalan kewajiban pemurnian hasil tambang di dalam negeri termasuk
pembangunan smelter, dan isu
perpanjangan Kontrak Karya (KK) pasca-berakhirnya KK tahun 2021. Tulisan ini
akan mengupas mengenai kewajiban divestasi saham PT Freeport yang sangat penting
dikaji dibanding soal bumbu-bumbu politik terkait dugaan pelanggaran etis oleh Setya
Novanto.
PT Freeport Tidak Taat
Kontrak Karya
Kepemilikan saham oleh Indonesia, khususnya
Pemerintah Indonesia menjadi sangat penting bagi penciptaan sebesar-besar
kemakmuran bagi Indonesia. Persoalan
divestasi saham PT Freeport sangat penting karena melalui kepemilikan saham PT
Freeport oleh Indonesia maka akan terjadi peralihan manfaat dan peralihan
kontrol dari PT Freeport ke Pemerintah Indonesia. Kepemilikan saham ini terkait
erat dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
PT Freeport Indonesia dikenai kewajiban
divestasi saham sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) KK
antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia. Dalam Pasal 24 ayat
(2) KK dinyatakan bahwa: “Sewaktu-waktu selama jangka waktu yang telah
ditetapkan dalam Pasal ini, perusahaan akan menawarkan untuk dijual atau
menyuruh menawarkan untuk dijual saham-saham dari modal saham perusahaan guna
mendukung kebijaksanaan Pemerintah Indonesia dalam mendorong kepemilikan
perusahaan-perusahaan Indonesia oleh Pihak Nasional Indonesia, sebagaimana
diatur dalam ayat 2 Pasal 24 ini. Untuk tujuan ayat (2) Pasal 24, istilah
“Pihak Nasional Indonesia” berarti warga negara Indonesia, Badan Hukum
Indonesua yang sah yang dikuasai oleh warga negara Indonesia, atau Pemerintah
Republik Indonesia”.
Selanjutnya dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a
dinyatakan bahwa sepanjang dapat dilaksanakan sesegera mungkin setelah tanggal
panandatanganan KK, dimulai pada tahun kelima sejak tanggal penandatangan KK
dan paling lambat sepuluh tahun sejak penandatangan KK, PT Freeport harus
menawarkan penjualan saham ke Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek
Indonesia) atau cara lain kepada Pihak Nasional Indonesia, dalam jumlah saham
mencapai 10% dari modal saham PT Freeport yang diterbitkan. Selanjutnya dalam
Pasal 24 ayat (2) huruf b dinyatakan sepuluh tahun sejak KK ditandatangani
bahwa PT Freeport harus mendivestasikan sahamnya 2.5% pertahun sampai dengan
25% melalui Bursa Saham dan menawarkan sahamnya sebesar 20% tidak melalui Bursa
Saham kepada Pihak Nasional Indonesia.
Namun kenyataannya berbeda dengan kewajiban PT
Freeport dalam KK tersebut. Hingga saat ini PT Freeport
tidak juga melakukan divestasi saham setelah divestasi saham sebesar 9.36%
kepada Pemerintah dan 9.36% kepada PT Incocoper Investama. Pemerintah memang
telah memiliki saham sebesar 9.36%. Namun, kewajiban divestasi saham tersebut
lebih dari 9.36% karena sesuai Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) KK tersebut maka
setidaknya telah terjadi kepemilikan saham oleh publik di pasar saham sebesar
20% dan 2.5% dikali 10 tahun (25%) ke selain Bursa Saham kepada Pihak Nasional
Indonesia. Bahkan dalam KK diatur bahwa jika PT Freeport tidak menawarkan saham
sebesar 20% melalui Bursa Efek Jakarta, maka keseluruhan jumlah saham yang
ditawarkan kepada Peserta Nasional Indonesia harus mencapai 51% (lima puluh
satu persen) tahun ke-20 (dua puluh) penandatanganan persetujuan ini (dalam hal
ini adalah pada tanggal 30 Desember 2011 harus terlaksana divestasi 51% kepada
Peserta Nasional Indonesia). Jika saham yang ditawarkan tidak terjual pada
periode yang telah ditetapkan, maka jumlah saham yang tidak terjual tersebut
harus ditambahkan pada periode selanjutnya. Dengan demikian, PT FI telah
melakukan ketidak-taat-an terhadap KK dan Pemerintah belum mengajukan keberatan
bahkan gugatan kepada arbitrase internasional atas pelanggaran ini.
Persoalan divestasi ini juga diatur
dalam Pasal 112 UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan dipertegas
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan PP No. 77 Tahun 2014. Walau dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia juga diatur mengenai kewajiban divestasi saham PT Freeport tapi
perusahaan ini cenderung tidak memiliki komitmen yang baik untuk menghormati
hukum Indonesia. Tentu ini merupakan bentuk ketidakhormatan PT Freeport kepada
bangsa dan negara Indonesia.
Koin Untuk Saham PT
Freeport
Untuk membeli saham PT Freeport
tentunya memerlukan dana yang sangat besar. Ketika divestasi saham PT Newmont
Nusa Tenggara pada tahun 2012 yang lalu sebesar 24% saham jatah Pemerintah
tidak dapat dibeli oleh Pemerintah Pusat karena alasan keterbatasan pendanaan.
Akhirnya jatah saham tersebut dibeli oleh Pemerintah Daerah di Nusa Tenggara
Barat dengan membentuk perusahaan gabungan (joint
ventura) bersama perusahaan swasta nasional. Ini menjadi pengalaman bagi
Pemerintah bahwa perlu strategi untuk membeli saham PT Freeport tersebut.
Untuk membeli saham PT Freeport ada
beberapa skema yang dapat dilakukan, antara lain: (1) menugaskan beberapa BUMN
di bidang pertambangan dan BUMN di bidang perbankan dan pembiayaan untuk
membeli saham tersebut; (2) menugaskan Pusat Investasi Pemerintah yang berada
di bawah Menteri Keuangan untuk melakukan pembelian saham divestasi tersebut;
(3) membentuk BUMN khusus untuk mengelola saham divestasi saham dengan skema
penyertaan modal negara dari APBN; (4) membeli saham dengan dividen yang akan
diterima oleh Pemerintah dari PT Freeport; (5) bahkan rakyat Indonesia dapat
bersatu padu membeli saham melalui program Koin Untuk Saham PT Freeport.
Tentunya dengan skema nomor 5, isu nasionalisme dapat dijadikan jargon akan
pentingnya kepemilikan saham PT Freeport.
Akhirnya, PT Freeport harus memiliki
ittikad baik untuk ikut terlibat dalam sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan
melakukan segala kewajiban yang ada dalam KK dan peraturan perundang-undangan
Indonesia. Sebagai tamu di negara ini, hormatilah negara ini sebagai suata
negara yang berdaulat. Sesungguhnya gunung di Eastberg dan Grasberg yang dulu
menjulang tinggi, kemudian menjadi tanah datar karena gunungnya sudah dieksploitasi,
lalu di gali lebih dalam sampai sangat dalam, dan tidak berhenti di situ lubang
yang sangat dalam itu pun terus dieksploitasi dengan tambang bawah tanah, perut
bumi Ppaua itu disedot sampai dalam, sampai tulang sumsum (perut bumi)
terdalam. Adilkah bila PT Freeport selalu ingin untung sendiri, padahal
kekayaan alam Indonesia merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Kekayaan bangsa
Indonesia secara umum sehingga PT Freeport tidak boleh hanya mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaannya dan tidak memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia. “Hasil
tambang Indonesia harus memberikan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat
Indonesia baik generasi saat ini maupun generasi anak cucu saat ini”.
- - -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar